Selasa, 18 November 2014

Masa Depan Komunikasi Masa Depan Indonesia

Sebuah Epistemologi Komunikasi
Masa Depan Komunikasi, Masa Depan Indonesia. Adalah tema Konferensi Nasional Ilmu Komunikasi yang sedang berlangsung di Lombok 18-20 November 2014. Sayang belum ada kesempatan untuk hadir dan ikut serta memberikan sumbangsi dan kritik terhadap Ilmu Komunikasi dalam ajang yang sangat penting tersebut. Mudah-mudahan di lain kesempatan. Aamiin.
*****
Kita pada saat ini sedang berada dalam sebuah era peradaban manusia yang sangat maju. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang dengan segala kebaruan dan bentuk inovasinya. Kondisi yang mengubah cara manusia bekerja, berproduksi dan mengonsumsi berinteraksi atau bersosialisasi dengan kehidupan sosialnya atau bahkan mengubah cara beribadah (ritual).
Manusia berhutang budi pada ilmu pengetahuan yang sudah memberikan berbagai kemudahan dan manfaat untuk kehidupan.  Karena pada sisi aksiologisnya tentu ilmu pengetahuan haruslah mempunyai standar nilai dan kegunaan untuk manusia seperti, memberantas kebodohan, mengurangi kemiskinan, menciptakan keteraturan/ketertiban, menawarkan kebahagian untuk manusia. Itulah standar aspek aksiologi ilmu pengetahuan. Lalu pernyanyaannya adalah, apakah ilmu pengetahuan yang ada saat ini sudah memenuhi standar aksiologi tersebut? Saya jadi ingin mengungkapkan kembali kegalauan yang dirasakan oleh Albert Einstein bahwa seharusnya semakin berkembang ilmu pengetahuan maka manusia haruslah semakin bahagia, sejahtera dan semakin damai. Tapi Einstein tidak merasakan dampak ilmu pengetahuan seperti apa yang diharapkannya, melainkan sebaliknya.
Dengan sedikit pesimis namun tetap dibalut rasa optimistis, saya melihat kegalauan Einstein bisa kita saksikan dengan mata telanjang pada realita era ini. Semakin berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin memunculkan semangat manusia untuk meraih berbagai kemudahan dan kesenangan hidup. Sehingga, pada akhirnya budaya yang terbentuklah adalah budaya berlomba-lomba mengumpulkan segala materi yang bisa memberikan kemudahan dan kenikmatan. Akibatnya muncul iklim persaingan, rasa ingin mendahului satu sama lain, ingin mendominasi dan menguasai, rasa takut jika tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, memiliki ambisi yang tidak bisa dikontrol. Yang terpenting adalah faktor kemudahan dan kenikmatan bisa dikumpulkan. Pemandangan kota pun mulai menyakitkan mata dan menyulut emosi dengan kemacetan, hiruk pikuk aktivitas kantor yang membuat banyak orang depresi, belum lagi pergaulan bebas yang tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja, tapi juga terjadi di kalangan anak-anak dan dewasa bahkan kalangan orang tua, angka kriminalitas semakin bertambah.
Ada apa dengan ilmu pengetahuan? Kok bisa ilmu pengetahuan menggeser nilai-nilai yang dikandungnya? Apa yang salah dengan ilmu pengetahuan? Sepertinya ada satu sistem dari sistem besar kehidupan yang korslet. Mesti ditemukan benang merah untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang semakin parah. Lalu sistem apa yang yang dimaksud sebagai bagian dari sistem besar kehidupan? Benang merah apa yang sudah mulai terdeteksi?
Tidak bermaksud bersikap tendensi terhadap latar belakang ilmu pengetahuan saya, ini hanyalah postulat atau aksioma dasar yang menjadi tanggungjaab bersama untuk membuktikannya. Postulat tersebut menyebutkan bahwa bagian sistem besar atau benang merahnya adalah “Komunikasi” baik dalam teoritis maupun praktis. Komunikasi sudah bagi saya adalah bagian dari sistem besar kehidupan ini, jika tidak ada keseimbangan dalam sistem besar ini yang terjadi adalah ketidakseimbangan/ketidakteraturan kehidupan. Komunikasi adalah proses mengerti dan memahami dunia, mengerti dan memahami manusia, mengerti dan memahami lingkungan, mengerti dan memahami diri sendiri, mengerti dan memahami Tuhan. Proses sistem mengerti dan memahami ini yang selama ini ada gangguan (noise) dalam sistem besar kehidupan. Sistem ini yang harus ditanamkan kepada semua penduduk bumi.

Saya lebih suka menyebut sistem tersebut sebagai Global Communication System atau Universal Communication System. Bahwa sudah saatnya Ilmu Komunikasi menjadi a hold all civilization system yang bisa mewujudkan keteraturan atau ketertiban kehidupan. Secara teoritis Ilmu Komunikasi bukan hanya milik disiplinnya sendiri melainkan milik semua disiplin ilmu pengetahuan dan secara praktis ilmu komunikasi harus menjadi dasar dan pertimbangan setiap orang dalam mengambil keputusan untuk diri sendiri dan orang lain dengan membudayakan sikap untuk mengerti dan memahami. Komunikasi menjadi sebuah jawaban yang mampu mencerahkan kehidupan.

Senin, 18 Agustus 2014

Lomba Makan Kerupuk dalam Perspektif Budaya dan Agama

17 Agustus menjadi seleberasi tahunan yang diperingati bangsa Indonesia secara nasional atas keberhasilan para pejuang dan pendiri bangsa merebut kedaulatan tanah air dari tangan penjajah. Tujuh-Belasan memang membawa kegembiraan dan keceriaan di sebagian besar bangsa Indonesia yang kerap diistilahkan sebagai ajang “pesta rakyat” atau citizen party. Tak terkecuali mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua menikmati perayaan 17 Agustus.

Ada banyak aksi, atraksi dan ekspresi yang dilakukan dalam mengisi kemeriahan peringatan 17 Agustus 1945, mulai dari kegiatan perlombaan maupun parade budaya. Sebagai ajang untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan kreativitas masyarakat umum khususnya generasi muda tentu penyelenggaraan tersebut bernilai positif. Namun, jika penyelenggaraan “tujuh-belasan” tersebut diisi dengan kegiatan-kegiatan yang tidak mencerminkan kepribadian bangsa akan membawa masalah sendiri terutama dalam citra bangsa Indonesia yang bermartabat dan merdeka. 

Sebetulnya jika kita mau melakukan evaluasi dan kritik terhadap kebiasaan yang berkembang di masyarakat dari sejak dulu hingga sekarang ada begitu banyak tradisi yang sebetulnya jauh dari nilai-nilai ke-Indonesia-an. Karena masih dalam suasana kemeriahan peringatan 17 Agustus 1945 maka tulisan ini akan menyentuh seputar kegiatan-kegiatan perayaan HUT RI tersebut dan sedikit mencoba melucuti dengan perlahan tali yang mengikat kuat pada tradisi-tradisi yang tidak mencerminkan kemerdekaan Indonesia. 

Jika saya melempar pertanyaan kepada Anda, “Sebutkan satu saja Lomba yang paling banyak dilakukan di setiap tempat ketika memperingati 17 Agustus 1945?” Saya yakin rata-rata bahkan semua jawaban pertama adalah Lomba Makan Kerupuk. Jika tidak percaya silahkan buktikan sendiri. Lomba ini menjadi sangat pavorit di kalangan anak-anak apalagi (mohon maaf tanpa bermaksud merendahkan) banyak ditemui pesertanya adalah anak-anak yang kurang mampu. Lalu bagaimana kita melihat fenomena tersebut dalam kacamata budaya dan agama?

Perspektif Budaya
Menjadi tontonan menarik dan menghadirkan tawa bagi setiap yang menyaksikan susahnya peserta lomba dengan tangan diikat di belakang sambil loncat-loncat meraih kerupuk yang digantung sedikit lebih tinggi dari peserta. Sekali lagi ini hanyalah lomba, namun betapa lomba ini tidak manusiawi. Kita bisa menganalogikan dengan seorang majikan yang sedang memberi makan hewan berkaki empat (tidak etis untuk disebutkan), sepertinya tidak akan seru jika tidak ditarik ulur ke atas ke bawah makanan yang dipegang agar hewan tersebut melakukan aksi dan atraksi melompat tinggi. 

Menurut pakar budaya Murphy dan Hildebrant, budaya diartikan sebagai tipikal karakteristik perilaku dalam suatu kelompok. pengertian tersebut juga mengindikasikan bahwa segala bentuk kegiatan masyarakat atau kelompok merupakan tipikal dari kelompok tersebut. Dalam kacamata Semiotika Budaya pun memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap budaya kelompok yang ada memiliki makna dan akar yang kuat secara turun-temurun. Kita tentu sepakat jika Indonesia memiliki budaya yang luhur dan tinggi sebagai cerminanan masyarakat Indonesia yang juga berbudi pekerti yang luhur dan tinggi. Pribadi Indonesia adalah pribadi yang menentang segala bentuk perbudakan, penindasan dan penjarahan. Tapi bagaimana perbudakan itu hilang jika bangsa Indonesia juga yang menumbuh-suburkannya. Dan perbudakan tersebut kita tanamkan kepada generasi kita dengan tradisi-tradisi yang mencerminkan perbudakan seperti Lomba Makan Kerupuk. Bukankah kita adalah apa yang kita lakukan? 

Lalu, mengapa mesti Lomba Makan Kerupuk? Bukankah Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber alam? Bukankah begitu banyak kekayaan kuliner Indonesia yang harus kita lestarikan dan dikenalkan kepada dunia? Seandainya kita mau belajar dari negara-negara maju, mereka dengan bangga dan antusias menyelenggarakan festival lomba memasak masakan khas mereka yang bermutu tinggi. Sehingga dengan perlombaan tersebut mampu mengangkat derajat budaya mereka menjadi budaya yang tinggi. Alhasil, mampu menarik perhatian dunia untuk datang ke tempat mereka. Para wisatawan datang untuk memberikan apresiasi tinggi terhadap kebudayaan tersebut. Sementara di Indonesia, apa yang bisa diuntungkan dari Lomba Makan Kerupuk? Sekali lagi, tidak bermaksud merendahkan makanan yang memang renyah di lidah Indonesia. Akan tetapi, kita harus mengubah cara pandang agar mulai mengeksplorasi budaya-budaya yang bernilai tinggi secara makna dan tinggi secara seni untuk ditunjukkan kepada dunia dan untuk mendapatkan penghargaan dunia.

Perspektif Agama
Dalam konteks agama, agama apa pun itu, sudah barang tentu akan mengajarkan umatnya bagaimana cara memperlakukan makanan dengan baik sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rizki yang diberikan-Nya. Sehingga dalam penyajian makanan pun harus dengan cara yang etis, tidak boleh dilempar, tidak boleh digantung bahkan diletakkan di atas lantai. Dalam Islam sendiri, makanan bukan hanya sekedar asupan untuk terpenuhi energi dan gizi saja, namun yang terpenting adalah makan dapat menumbuhkan kecerdasan dan kesholehan. Itu sebabnya Islam memerintahkan kepada umatnya memakan makanan yang halal dan baik. Halal tentu saja dalam hal halal zatnya dan halal cara memperolehnya. Sementara baik adalah baik dalam etika memakan dan menyajikan makanan tersebut. Sehingga jika dua syarat itu terpenuhi maka manusia akan sehat, cerdas dan sholeh. 

Contoh etika makan dalam agama adalah dengan cara duduk, menggunakan tangan kanan yang bersih, dan membaca do’a sebagai ungkapan syukur dan agar diberkahi. Dalam Islam dan tidak menutup kemungkinan dalam agama lain melarang makan dengan cara berdiri apalagi sambil loncat-loncat, makan dengan tangan kiri, makan tanpa membaca do’a. Maka wajar jika banyak kita temui orang-orang yang kebutuhan gizi badannya terpenuhi dengan cukup namun kebutuhan gizi ruhiyyah/bathinnya kurang atau tidak terpenuhi. Inilah ajaran Rasul yang ditekankan kepada umat dalam hal makan-memakan yang mempunyai pengaruh besar untuk menumbuhkan kecerdasan dan kesholehan pribadi. Mungkin gerakan makan yg halal dan baik perlu digalakkan di negara ini, sehingga akan berdampak positif untuk memutus mata rantai koruptor, penjajah, penghianat negara ini. Karna pribadi masyarakat yang buruk bisa jadi disebabkan karena makanan yang haram atau buruk dan cara penyajian dan memakannya yang buruk.

Lomba Makan Kerupuk adalah hanyalah salah satu bentuk perayaan hari kemerdekaan yang perlu dievaluasi di negeri ini. Masih banyak bentuk-bentuk kegiatan lain yang tidak mencerminkan ke-Indonesia-an. Alhasil, alih-alih untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa melainkan menjatuhkan harkat dan martabat bangsa yang kita cintai ini. Hanya dengan memiliki tradisi yang bernilai tinggi bangsa ini akan memiliki martabat yang tinggi di mata dunia. (*aam)

Rabu, 04 Desember 2013

Sukses Membangun Hubungan dengan Pendekatan Kemiripan (Similarity Method)



Siapa pun Anda, apakah Anda seorang pemimpin sebuah perusahaan, apakah Anda adalah seorang pegawai biasa atau bawahan, seorang pendakwah, motivator, calon legislatif, dosen, mahasiswa, salesman, individu yang sedang membangun hubungan dan lain sebagainya tentu membutuhkan penerimaan dan penghargaan orang lain. Dengan kata lain siapa pun dari kita menginginkan agar dapat disenangi dan diterima oleh siapa saja dan kapan saja. Karena pada dasarnya keberhasilan kita terletak pada penerimaan dan dukungan orang lain.

Kesadaran akan kebutuhan penerimaan bahkan dukungan dari orang lain secara alamiah akan mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang diinginkan atau terlihat mirip dengan apa yang dilakkukan orang lain. Baik dengan mengunkapkan latarbelakang, pengalaman, pandangan hidup, visi misi, sikap, budaya, bahasa, perasaan, status sosial yang ditampilkan supaya terlihat mirip dengan orang lain.
Banyak kita jumpai praktik aktivitas di dunia nyata ketika seseorang ingin membangun hubungan dengan orang lain akan menggunakan pendekatan similarity dari orang yang dituju. Seperti misalnya pada saat seorang Pengusaha akan melakukan lobby, sebelumnya dia akan mencari tau informasi tentang kesukaan, pengalaman, atau informasi tentang kehidupan keluarga calon mitranya. Sehingga pada awal perbincangan dia akan membuka dengan perbincangan yang menyangkut kesukaan atau pengalaman calon mitra kemudian dia menanggapi bahwa kesukaan dan pengalaman calon mitra sama dengan kesukaan dan pengalamannya. Jika persamaan sudah terbingkai dalam perbincangan tersebut maka rasa saling percaya dan mendukung akan terbangun.
Pengalaman penulis sendiri pernah terlibat dalam sebuah tender penyelenggara acara (Event Organizer) yang berkaitan dengan kebudayaan Sumatera Selatan di Bandung. Sponsor utamanya adalah seorang pengusaha minyak yang berdarah Sumsel (tujuannya agar pada waktu acara dia bisa bertemu sekaligus bisa menjamu Gubernur). Singkatnya, meskipun konsep acara budaya yang diajukan oleh penulis dianggap bagus dan kreatif namun akhirnya ditolak ketika penulis tidak bersedia mendatangkan “wanita penghibur” yang diperuntukkan untuk menemani para tamu penting. Akhirnya acara tersebut jatuh ke EO lain (bukan backround orang Sumsel) yang menyanggupi menyediakan “wanita penghibur”. Pada akhirnya ternyata pada waktu acara sedikit sekali yang hadir dan tamu utama pun Gubernur Sumsel tidak mampu dihadirkan, sehingga acara hanyalah sebatas hura-hura dan maksiat.
Dari pengalaman di atas penulis mendapat pelajaran berharga bahwa kunci untuk berhasil dalam berhubungan dengan orang lain adalah bagaimana kita bisa terlihat bahkan menjadi benar-benar mirip dengan orang lain (namun tetap harus melihat sisi positif-negatifnya, halal-haramnya). Penulis memang sudah mengetahui bahwa Sang sponsor menyukai “wanita penghibur” sehingga jika penulis bertolak belakang dengan kesukaannya maka tidak akan mencapai kesepakatan. Begitu juga dengan Sang Sponsor karena tidak mengetahui latarbelakang para tamu undangan (yang tidak semuanya menyukai “wanita penghibur”) sehingga acara pun ditinggalkan.
Contoh lain adalah penelitian Buss (1985) menemukan bukti kuat bahwa pemilihan pasangan hidup didasarkan pada kemiripan. Misalnya para suami dan para isteri biasanya mirip dalam usia, pendidikan, latarbelakang etnik, seperti juga dalam ras, agama dan status sosio-ekonomi. Adapun berdasarkan psikologis seperti kemiripan sikap, pendapat dan pandangan dunia. Juga terdaapt kemiripan lain seperti kemampuan verbal yakni kecenderungan bertengkar, kejujuran, keterbukaan.
Pengamatan, penelitian, dan teori menyatakan bahwa kita menyukai orang-orang yang tampaknya mirip dengan kita. Lebih dari seratus tahun yang lalu Disraeli berkata, “Seorang yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan saya.” Seorang penulis kontemporer pun menyatakan, “Kita cenderung menyukai orang-orang yang mempunyai kepercayaan dan sikap yang sama seperti kita miliki, dan ketika kita menyukai seseorang, kita ingin ia mempunyai sikap seperti yang kita miliki” (Heider dalam Stewart, 2008:188). Di samping itu, kepribadian, gaya busana, tigkat sosio-ekonomi, agama, usia, status, dan sebagainya akan mempengaruhi perasaan kita terhadap orang lain. Kita cenderung menarik dan tertarik pada orang-orang yang seperti kita, dan sebaliknya, kita cenderung tidak menyukai dan tidak disukai orang-orang yang berbeda dengan kita.
Tampaknya semua orang akan sepakat dengan pernyataan Disraeli dan Heider yang mengatakan bahwa orang yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan kita dalam hal apa pun. Kita lebih menyukai orang yang mempunyai sikap sama seperti kita begitupun orang lain akan menyukai kita ketika kita mempunyai sikap yang sama dengan orang lain. Alih-alih akan dianggap sebagai seorang penjilat justru ini adalah kompetensi khusus yang tidak dimiliki semua orang dalam menyenangkan orang lain sehingga keberhasilannya dalam membangun hubungan yang berdampak juga pada keberhasilan karir, lobby, kenaikan gaji, memperoleh dukungan dan lain sebagainya adalah hadiah atas kemampuannya untuk menyenangkan orang lain.
Untuk para Calon Legislatif (Caleg)/Calon Kepala Daerah misalnya, pendekatan ini dinilai sebagai salah satu strategi untuk meraih dukungan konstituennya. Para kontestan harus menjadi apa yang diinginkan oleh konstituen baik dalam hal bersikap maupun mengampanyekan program. Misalnya saja, masyarakat dareah A menginginkan agar jalan raya di daerahnya bagus dan mulus. Maka tidak tepat jika spanduk kontestan menyampaikan pesan misalnya “Yang Muda Yang Berkaya” atau “Berjuang Untuk Kesejahteraan Rakyat”. Akan sangat berbeda dengan spanduk yang bertuliskan “Kesedihan Kita Sama dari Dulu Jalan tidak Pernah Bagus dan Mulus, Mari Kita Wujudkan Bersama” akan lebih berpengaruh dan mudah diingat daripada spanduk sebelumnya. Ini juga yang sering disebut sebagai pendekatan empati atau yang lebih mendalam disebut pendekatan neuro linguistic programe. Dan tentu saja untuk merasakan apa yang dirasakan masyarakat, mendengar apa yang didengar oleh masyarakat, melihat apa yang dilihat masyarakat dengan melalui riset atau survei terlebih dahulu, setelahnya barulah kita menjadi apa yang diinginkan oleh masyarakat. (Soal Riset IPO Institute ahlinya, contact me 082120177788) 
Namun selain faktor kemiripan yang disebut di atas, ada suatu pandangan mutakhir penelitian mengenai kemiripan adalah, “Kesadaran atas realitas bersama lebih penting daripada kemiripan itu sendiri. Juga, bukanlah kemiripan sikap, dan semua faktor lainnya yang penting, namun “Mengetahui” bahwa anda sangat mirip dalam makna yang anda berikan kepada hal-hal yang penting. Beberapa kajian lama dan baru menunjukkan pentinganya mengasumsikan kemiripan dalam hubungan, fakta bahwa pasangan-pasangan berpikir mereka lebih mirip daripada kemiripan yang sebenarnya, dan bahwa pengertian sering berjalan dengan kemiripan yang diperkirakan daripada kemiripan yang sebenarnya (Duck dan Barnes, 1992:206).”
Memahami bahwa realitas bahwa kita harus hidup secara bersama, memiliki pengertian terhadap makna raelitas yang kita anggap penting dan prioritas untuk diwujudkan secara bersama lebih penting dari kemiripan itu sendiri. Seorang suami isteri tidak akan bertengkar atau bercerai karena merasa sudah tidak ada kecocokan (kemiripan) lagi ketika dia memahami realitas yang lebih penting bahwa keluarga harus dilanjutkan sampai kapan pun untuk kebaikan bersama. Karen tujuan itualah sebetulnya kemiripan yang sesungguhnya.
Kita juga sering menemukan orang yang sepertinya keras kepala tidak mau diatur (atau jangan-jang kita sendiri) tidak mau mengalah ketika berpendapat sehingga orang seperti ini bisa dipastikan akan dihindari orang lain. Misalnya juga dalam sebuah perdebatan atau diskusi baik di kelas, forum resmi atau arisan, ada seseorang atau sekelompok yang kukuh terhadap pendapatnya dan tidak mau mengalah atau menerima pendapat orang lain sehingga dampaknya dia tidak akan disukai karena perbedaan pendapat dan idealismenya. Padahal sebetulnya hal ini tidak perlu terjadi jika kita menemukan titik temu yang dianggap sama dengan orang lain. 
Strategi ketika berdebat kita harus tetap harus terlihat sama dengan lawan bicara misalnya dengan mengatakan, “Saya sependapat, sama seperti pendapat Anda namun ada yang ingin saya tambahkan berdasarkan bla...bla...bla...dst” tentu lebih mudah diterima lawan bicara. Berbeda dengan misalnya, “Saya tidak sependapat dengan Anda, alasan Anda tidak ilmiah....bla...bla...bla...dst.” Sikap seperti ini tentu akan membuat lawan bicara merasa terpojokkan dan berusaha untuk membalas. Minimal jika hal di atas tidak bisa kita lakukan maka kita harus memberikan pengertian kepada lawan bicara bahwa kita dan lawan bicara adalah sama-sama teguh pendirian. Tetap harus menemukan persamaan. Semoga Bermanfaat.



Rabu, 13 November 2013

Interpersonal Skill



Pendahuluan
Palo Alto Group (Littlejohn, 2008:284) membuat sebuah kesimpulan yang bermakna tegas bahwa, “We can not not communicate,” (kita tidak bisa tidak berkomunikasi). Ada banyak tafsir dari pernyataan di atas seperti misalnya, ketika kita berada dihadapan orang lain, kita selalu mengungkapkan sesuatu tentang hubungan kita dengan orang lain, baik secara sadar maupun tidak. Aksioma ini berarti jika kita tidak ingin berinteraksi dengan orang lain, bisa saja orang lain membaca “penghindaran” kita sebagai sebuah pernyataan. Termasuk ketika kita diam adalah sebuah pesan yang tidak bisa untuk disembunyikan dan mengandung banyak dugaan.
Penjelasan lain dari ungkapan “kita tidak dapat tidak berkomunikasi” adalah bahwa komunikasi adalah kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tanpa adanya komunikasi maka tidak akan ada kehidupan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa proses kehidupan di dunia ini berawal dari komunikasi.
Hal ini didukung oleh Stewart (2008:3) yang menghubungkan dengan erat antara komunikasi dengan kesehatan fisik. Dia menunjukkan bahwa orang yang terkucil secara sosial (terisolasi dalam berkomunikasi) lebih cepat mati. Selain itu, kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya.
Dalam perspektif agama juga sudah begitu jelas diterangkan bahwa salah satu fitrah dasar manusia adalah untuk saling mengenal, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat:13 “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kamu sekalian.”
Dari ayat ini, Allah menyuruh kita untuk saling mengenal, meskipun berbeda suku, berbeda bangsa, berbeda budaya, berbeda warna kulit, sebagai manusia kita harus menjalin komunikasi yang baik. Selanjutnya Allah juga menegaskan yang paling mulia di sisi Allah bukanlah yang paling kaya, paling cantik, paling pintar, paling popular, dan sebagainya. Namun yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakwa kepada Allah SWT. Dalam hubungannya dengan aktivitas komunikasi tentu orang yang bertakwa adalah mereka yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap sesama. Kemudian dijelaskan kembali pada Surat yang lain,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)

Ayat di atas memberikan isyarat bahwa yang mampu menciptakan keselarasan dalam berkomunikasi adalah hati kita sendiri. Sehingga kita dianjurkan untuk menata hati dalam setiap aktivitas terutama komunikasi agar tercipta hubungan interaksi interpersonal yang baik di antara peserta komunikasi.
Interpersonal skill erat kaitannya dengan kegiatan interaksi yang rutin dilakukan setiap hari, mulai dari mengundang teman untuk belajar bersama, meminta uang kepada orang tua untuk kebutuhan kuliah, mengerjakan tugas kelompok dengan kompak, melamar pekerjaan, menanggapi pujian atau cacian, melapor pada atasan, menciptakan hubungan baru, memperbaiki dan mempererat hubungan, mendamaikan perselisihan, dsb.
Memahami proses interaksi merupakan bagian penting dari proses pendidikan pengembangan diri. Sama seperti pentingnya seseorang memahami ilmu komputer, geografi, matematika, sains dan lain-lain. Sebagai makhluk sosial kita pun dituntut untuk dapat mengetahui apa dan bagaimana kemampuan/kompetensi interpersonal. Karena kita hidup dalam dunia yang mengharuskan setiap individu mampu berkomunikasi/berinteraksi dengan baik sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup dengan seimbang.
Oleh sebab itu sebelum memahami apa sesungguhnya kemampuan/kompetensi interpersonal (interpersonal skill) itu, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat apa sebenarnya kompetensi (skill) itu sendiri.
Definisi Interpersonal Skill
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemampuan/kompetensi diartikan sebagai, kemampuan; kecakapan; kekuatan. Ford (dalam L’Abate, 1990) mengemukakan bahwa kompetensi menunjuk pada tiga hal, yakni:
a.       Kecakapan merumuskan dan mewujidkan suatu usaha atau karya, yaitu dalam bentuk aktivitas yang mengarah pada tujuan secara terus menerus.
b.      Perilaku seseorang yang menunjukkan pada adanya kecakapan atau kemampuan khusus; atau
c.       Keefektifan perilaku dalam situasi yang relevan.
Dari pendapat Ford tersebut menunjukkan bahwa kata kompetensi akan mempunyai arti apabila kata tersebut disandingkan dengan situasu tertentu. Kompetensi dalam suatu situasi tidak dapat digunakan untuk menjelaskan kompetensi dalam situasi yang lain. Oleh karena itu pada materi ini, kata kompetensi akan selalu disandingkan dengan kata interpersonal.
Secara sederhana, kata interpersonal dibentuk dari prefix “inter” dan kata “personal.” Untuk itu, interpersonal selalu dikaitkan dengan suatu bentuk interaksi antarperseorangan. Dengan demikian, kompetensi interpersonal dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan khusus seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Senada dengan itu, Gardner (1983) mendefinisikan kecerdasan interpersonal sebagai kemampuan untuk memahami orang-orang lain: apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bertindak, bagaimana seseorang bekerja sama dengan mereka. Gardner mencontohkan penjual, politisi, pengajar, dokter dan pimpinan religius yang sukses merupakan individu-individu yang memiliki tingkat kecerdasan interpersonal yang tinggi.
Kompetensi interpersonal merupakan bagian dari kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial, menetukan perilaku yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial (Hurlock, 1999). Dikatakan demikian karena di dalam kompetensi sosial terdapat aspek-aspek kompetensi interpersonal seperti kemampuan membentuk persahabatan dengan orang lain yang disertai dengan kualitas interaksi antarpribadi yang baik (Adams, 1983), kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain serta keterlibatannya dalam suatu situasi sosial (Hurlock, 1999), kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan mengatasi permasalahan yng timbul dalam kehidupan sosial, kemampuan mengontrol situasi (Baumrid dalam Maccoby, 1988), dan memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan lingkungan (White dalam Datan & Lohman, 1980).
Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal (interpersonal skill) memiliki beberapa aspek yang dikemukakan oleh Buhrmester dkk. (1988), yang terdiri dari: 1) kemampuan berinisiatif untuk memulai suatu hubungan interpersonal; 2) kemampuan membuka diri; 3) kemampuan untuk bersikap asertif; 4) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain; 5) kemampuan untuk mengelolah dan mengatasi konflik dengan orang lain. Kelima subkompetensi tersebut akan membentuk kompetensi interpersonal (interpersonal skill).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal
            Kompetensi interpersonal tidak tumbuh dengan sendirinya. Berbagai pandangan dan penelitian membuktikan bahwa kompetensi interpersonal tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal adalah antara lain jenis kelamin, keaktifan dalam organisasi (Danardono, 1997), kematangan beragama (Nashori, 2000), konsep diri (Rahmat, 2000), kontak anak dengan orang tua (Hetherington & Parke, 1986), kelekatan dengan teman sebaya (Kramer & Gottman, 1992), partisipasi sosial (Hurlock, 1999).
            Berdasarkan jenis kelamin, Danardono (1997) menemukan bahwa mahasiswa laki-laki yang aktif dalam kegiatan pecinta alam mempunyai kompetensi interpersonal yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang aktif dalam kegiatan pecinta alam. Hal senada diungkapkan oleh Hadiyono & Kahn (1987) yang melaporkan bahwa laki-laki memiliki stabilitas emosi, memiliki keberanian dan kepuasan diri. Hasil penelitian tersebut dapat dipahami mengingat anak laki-laki sesuai dengan fisiknya terbukti memiliki tingkat gerakan yang lebih aktif dibanding anak-anak perempuan. Pada gilirannya gerakan-gerakan tersebut akan menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan hubungan interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan konflik interpersonal yang dihadapi.
            Kematangan juga mempengaruhi kompetensi interpersonal sebagaimana dikemukakan oleh Wulff (1991) dan telah dibuktikan oleh Nashori (2000), yang secara khusus meneliti kematangan beragama, konsep diri dan jenis kelamin dalam hubungannya dengan kompetensi interpersonal. Dalam hal ini dibutuhkan kematangan tertentu agar seseorang memiliki tingkat kompetensi interpersonal tertentu.
            Oleh sebab itu, Zakiah Darajat (2005:124) menekankan pentingnya setiap individu untuk mendapatkan pendidikan agama yang bukan hanya sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melati keterampilan dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi pendidikan agama jauh lebih luas daripada itu, ia pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian seseorang, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap, mental dan akhlak, jauh lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama, yang tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup. Dengan kematangan agama, seseorang akan memiliki kepribadian yang baik dalam hal sikap, mental dan akhlak sehingga akan berpengaruh pada proses terciptanya kompetensi interpersonal seseorang.
            Tentang konsep diri yang dikemukakan oleh Brooks, dkk (dalam Rahmat, 2000) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh besar terhadap kompetensi interpersonal terutama dalam hal pola komunikasi interpersonal. Hal ini juga sudah terbukti oleh Nashori (2000) yang menemukan bahwa konsep diri berhubungan secara signifikan dengan kompetensi interpersonal.
            Rosenberg (dalam Stewart,dkk., 2008:4) mengemukakan bahwa komunikasi erat kaitannya dengan konsep diri. Dia menceritakan kisah “anak liar dari Aveyron” yang dibesarkan oleh serigala. Dia sama sekali tidak memiliki identitas kemanusiaan sebelum berinteraksi dengan manusia. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan perhatian dan diperhatikan oleh orang lain. Lebih jauh lagi kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain.
            Konsep yang berbeda tentang diri “self” dijelaskan oleh Allport (dalam Syam, 2011:64) dengan menghilangkan kata “self” dan menggantikannya dengan kata lain yang sedikit berbeda dengan semua konsep lain. Istilah yang dipilihnya adalah proprium dan dapat didefinisikan dengan memikirkan bentuk sifat propriate, seperti dalam kata apropriate.
            Proprium menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang. Itu berarti bahwa proprium atau self terdiri dari proses yang penting dan bersifat pribadi bagi seorang individu, segi-segi seseorang yang menentukan seseorang sebagai seorang yang unik. Alport menyebutnya “Saya” sebagaimana yang dirasakan dan diketahui.
            Ada 7 (tujuh) tingkat “diri” proprium yang berkembang pada awal masa bayi sampai masa adolesensi.
1.      “Diri” jasmaniah, kita dilahirkan dengan suatu perasaan tentang diri, yang bukan merupakan bagian dari warisan keturunan kita. Bayi tidak dapat membedakan antara diri “saya” dan dunia sekitarnya. Namun secara berangsur dan bertambah kompleksnya belajar serta pengalaman perseptual, berkembanglah suatu perbedaan yang kabur antara sesuatu yang ada “dalam saya” dan sesuatu yang lain “di luarnya.” Ketika bayi menyentuh, melihat dan mendengar dirinya, benda-benda, serta orang lain, perbedaan itu mulai nampak lebih jelas. Sekitar usia 15 bulan, muncullah tingkat pertama perkembangan proprium “diri jasmaniah.”
2.      Identitas diri, seorang anak mulai sadar akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai seorang yang terpisah. Anak mempelajari namanya, dan percaya bahwa perasaan tentang “saya” atau “diri” tetap bertahan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah. Allport berpendapat bahwa faktor yang sangat penting dalam identitas diri adalah nama. Nama menjadi lambang kehidupan seseorang yang mengenal dirinya, dan membedakannya dari semua diri yang lain di dunia ini.
3.      Harga diri, ini menyangkut perasaan bangga seorang anak sebagai suatu hasil dari belajar mengerjakan benda-benda atas usahanya sendiri. Pada tingkat ini, anak ingin menyelidiki dan memuaskan perasaan ingin tahunya tentang lingkungan. Inti dari munculnya harga diri adalah kebutuhan anak akan otonomi. Ini kelihatan dalam tingkah lakunya yang negatif sekitar 2 tahun, ketika anak kelihatannya selalu menentang segala sesuatu yang dikehendaki orang tua untuk dilakukannya. Kemudian sekitar usia 6 atau 7 tahun harga diri lebih ditentukan oleh semangat bersaing dengan kawan-kawan sebayanya.
4.      Perluasan diri, tingkat ini mulai usia 4 tahun. Anak mulai menyadari keberadaan orang lain dan benda-benda disekitarnya, serta terbukti bahwa beberapa di antaranya adalah milik anak tersebut. Anak mulai mempelajari arti dan nilai dari milik/kepunyaan, seperti terungkap dalam kalimat ini punya adik, baju adik bagus sekali. Ini adalah permulaan dari kemampuan orang untuk memperpanjang dan memperluas dirinya, untuk memasukkan tidak hanya benda-benda tetapi juga abstraksi, nilai-nilai, dan kepercayaan.
5.      Gambaran diri, tingkatan ini menunjukkan bagaimana anak melihat dirinya dan pendapatnya mengenai dirinya. Gambaran ini (atau rangkaian gambaran) berkembang dari interaksi antara orang tua dan anak. Lewat pujian dan hukuman, anak belajar bahwa orang tua mengharapkannya agar menampilkan perilaku tertentu dan menjauhi perilaku lain. Dengan mempelajari harapan orang tua ini, anak mengembangkan dasar untuk perasaan tanggungjawab moral serta perumusan tentang tujuan dan intensi-intensi.
6.      Diri sebagai pelaku rasonal, setlah anak mulai sekolah, diri sebagai pelaku rasional mulai timbul. Aturan dan harapan baru dipelajari dari guru dan teman sekolah, serta yang lebih penting adalah diberikannya aktivitas dan tantangan intelektual. Anak belajar bahwa ia dapat memecakhan masalah menggunakan proses logis dan rasional.
7.      Perjuangan proprium. Pada masa adolesensi, perjuangan proprium—tingkat tingkat terakhir dalam perkembangan diri (selfhood)—muncul. Allport memercayai bahwa masa adolesens merupakan suatu masa yang sangat menentukan. Orang sibuk dalam mencari identitas yang baru, sangat berbeda dari identitas diri pada usia 2 (dua) tahun. Pentingnya pencarian identitas ini, yaitu pertama kalinya orang memerhatikan masa depan, tujuan dan impian hidupnya dalam masa yang panjang.
            Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri senantiasa membicarakan tentang bagaimana seorang berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kegiatan berkomunikasi dengan diri sendiri disebut dengan komunikasi intrapersonal. Seseorang yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal) dengan baik maka dia juga akan mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan baik.
Motivasi Personal
Allport mempercayai bahwa masalah yang sangat penting bagi ahli psikologi yang mempelajari kepribadian ialah usaha untuk menerangkan motivasi. Allport berpendapat bahwa kepribadian yang sehat tidak dibimbing oleh kekuatan tidak sadar atau pengalaman masa kanak-kanak. Menurutnya, motif orang dewasa secara fungsional otonom terhadap masa kanak-kanak—motif tidak bergantung pada keadaan asli, otonom sama dengan pohon A misalnya yang tumbuh dengan sempurna dari bijinya yang pernah memberinya makan. Kita tidak didorong dari belakang oleh kekuatan-kekuatan pendorong dengan akar-akar masa lampau, malahan kita didorong lebih dahulu oleh rencana-rencana atau intensi-intensi kita untuk masa depan.
Segi sentral dari kepribadian kita adalah itensi kita yang sadar dan sengaja, yakni harapan, aspirasi dan impian. Tujuan ini mendorong kepribadian yang matang dan memberi petunjuk yang paling baik untuk memahami tingkah laku seseorang. Alport menulis bahwa memiliki tujuan jangka panjang yang dilihat sebagai pusat kehidupan pribadi seseorang, membedakan manusia dari binatang, orang dewasa dengan anak-anak, dan dalam banyak ragam kepribadian yang sehat dari kepribadian yang sakit (Syam, 2011:62).
            Allport meyakini bahwa dorongan semua orang yang sehat adalah sama karena didorong ke depan oleh suatu visi masa depan, di mana visi itu dapat memersatukan kepribadian dan membawa seseorang pada tingkat ketegangan yang bertambah. Di sini juga Alport menjelaskan tentang kebahagiaan yang menurutnya bukan merupakan suatu tujuan dalam dirinya sendiri. Tetapi, kebahagiaan merupakan hasil sampingan dari keberhasilan integrasi kepribadian dalam mengejar aspirasi-aspirasi dan tujuan. Kebahagiaan bukan suatu pertimbangan utama bagi orang yang memiliki personal yang sehat, melainkan berlaku bagi orang yang memiliki aspirasi yang dikejarnya secara aktif.