MENYONGSONG INTEGRASI-INTERKONEKSI SAINS DAN AGAMA
I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dunia
saat ini mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis energi sampai krisis
moral. Pada tataran gaya hidup (life style) manusia tidak sedikit yang
terjerumus ke dalam gaya hidup yang berlebihan, mubadzir dan hedonism. Pada
tataran alam semesta terjadi fenomena kerusakan alam (lingkungan) yang semakin
lama semakin membahayakan keberadaan makhluk hidup di bumi termasuk manusia
seperti gunung es yang meleleh di Kutub Utara, lapisan ozon yang bolong dan
semakin membesar di bagian kutub selatan, gempa bumi dan tsunami berantai serta
isu perubahan iklim yang disebut sebagai fenomena global warming.
Oleh
banyak ahli, berbagai krisis yang melanda dunia ini ditenggarai dikarenakan
ummat manusia tidak berperilaku sebagaimana mestinya (benar dan baik).Kesalahan
perilaku ummat manusia tersebut disinyalir oleh para ahli tersebut karena pola
pendidikan yang dikembangkan saat ini kurang tepat.
Saat
ini pendidikan dikembangkan dengan memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum. Mungkin ungkapan para tokoh agama seperti para ustad dan kiayi
ada benarnya bahwa cukuplah hidup di dunia ini dengan berbekal ilmu agama,
walaupun gagap ilmu dan teknologi tidak akan membuat kita merasa terancam dan
terasing oleh kehidupan dan justru akan mampu mengendalikan kehidupan dengan
baik, bukan sebaliknya dikendalikan oleh kehidupan itu sendiri. Berbeda halnya
dengan kehidupan yang hanya dibekali dengan ilmu-ilmu umum saja, mereka akan
merasakan kehidupan yang hampa walaupun terlihat nyaman dalam buaian ilmu dan
teknologi. Mereka layaknya seperti kuda yang dipecut oleh joki (baca: ilmu dan
teknologi) untuk berlari kencang dan pada akhirnya akan menyengsarakan dia
sendiri tanpa memperoleh apa-apa.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa
ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai
pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau
minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan
pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil
dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi
spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan
sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan
teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk
kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang
merugikan manusia.
Solusi
terhadap masalah dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum telah
banyak ditawarkan oleh beberapa ahli. Minimal ada tiga solusi terhadap masalah
dikotomi tersebut, yaitu islamisasi sains, ilmuisasi islam, dan
integrasi-interkoneksi.
B.
Permasalahan
Permasalahan
yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menginterkoneksikan
ilmu-ilmu umum (sains) dengan agama.
II.
PEMBAHASAN
A.
Krisis
Ilmu Barat
Setelah
bertahun-tahun bahkan puluhan tahun kita menggeluti ilmu barat sekuler, maka
ada dua macam reaksi di dalam benak kita yang berbeda satu sama lain. Pertama,
kita merasa betah di dalamnya, dan karena itu kita merasa kagum kepadanya.
Betah karena ilmu itu dipaparkan dan dikembangkan berdasarkan pada
patokan-patokan (hukum-hukum) logika yang ramping, tegas dan lugas, sehingga
ilmu itu dapat menyatakan dirinya di
kala benar dan di kala salah. Atau salah benarnya ilmu itu terdapat di dalam
proses berpikir (nalar) yang ada di dalam tubuh ilmu itu sendiri. Sehubungan dengan ini kita dibuat kagum
terhadapnya, dan mengira bahwa hanya itulah yang benar, dan tidak bisa lain
daripada itu. Sebaliknya, bila bertentangan dengan itu, maka yang bertentangan
dengan itu pasti salah. Namun kedua, yang tidak sama dengan yang pertama itu,
kita memaklumi bahwa ilmu Barat itu berkembang, dari sederhana menjadi
kompleks. Dalam ilmu alamiah, perkembangan itu merupakan peningkatan dari pra-newtonian
ke Newtonian, dan akhirnya ke pasca-newtonian. Tentu saja
perkembangan dari sederhana ke kompleks atau canggih itu logis dan wajar, namun
tampak kepada kita bahwa perkembangan itu, yang tadinya dianggap benar, setelah
ada yang baru, maka yang lama itu menjadi salah. Karena itu apa yang hari ini
disebut benar, besok mungkin salah, dan tidak cukup begitu. Di dalam upaya
pemanfaatan ilmu itu untuk kenikmatan hidup manusia, banyak pakar barat sendiri
yang menyalahkannya. Einstein menyatakan bahwa ” ...dalam perperangan ilmu
menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia
membuat hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang indah
ini ya ng menghemat kerja dan membuat hidup kita lebih muda, hanya membawa
kebahagiaan yang sedikit sekali bagi kita?”
Barat
sangat mengandalkan diri pada akal. Mereka katakan bahwa akal itu ialah yang
benar dan tidak ada yang lebih benar daripada akal itu.
Maka
bila ternyata akal mereka itu telah membawa pada sesuatu yang ternyata keliru,
maka mereka menjadi kalang kabut. Ini mereka sebut skeptisisme, yang
skeptisisme mereka itu benar, tapi mereka hanya tahu bahwa itu salah dan kalang
kabut untuk sampai kepada yang benar. Mereka menjadi mandeg, tak tahu lagi apa
yang harus dikerjakan. Mereka sangat percaya kepada empirisme dan positivisme,
namun tetap dengan skeptisisme, dan dengan itu saja mereka tidak bisa sampai
kepada yang benar. Mengapa demikian?
Karena
yang benar itu satu, sedangkan yang tidak benar itu banyaknya tak terhingga.
Maka untuk sampai kepada yang benar kita harus menempuh kesalahan yang
banyaknya tak terhingga, dengan kata lain dengan mengetahui yang salah saja
kita tidak akan sampai kepada yang benar.
Namun untunglah bagi kita, Tuhan YME, yang menciptakan itu semua,
telah memberitahukan kepada kita (melalui Nabi Muhammad SAW) mana yang benar,
mana yang salah. Yang benar adalah perintahNya bagi kita untuk kita jalani,
sedangkan yang salah adalah laranganNya bagi kita untuk kita hindari. Dan
diantara perintah dan larangan itu adalah apa-apa yang boleh kita lakukan.
Ilmu termasuk kepada perintah Allah SWT, yang harus kita lakukan
sejauh ada pada kemampuan setiap individu. Ilmu itu termasuk ciptaan Allah SWT,
berupa firman Allah yang tidak beruba-ubah sepanjang zaman. Ini adalah
kebenaran yang diperintahkan kepada manusia untuk mengungkapkannya. Segala apa
yang menyimpang dari padanya adalah kekeliruan. Tentu saja ada kekeliruan besar
dan kekeliruan kecil, namun semua itu keliru. Dan yang lebih menyedihkan lagi
bahwa ilmu Barat itu ternyata merupakan kekeliruan arah yang makin lama
makin keliru.
Maka di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21 ini kita harus menghentikan kekeliruan, dan memandunya kembali kepada arah yang benar. Inilah ilmu Tauhidullah (di bidang sains), yang kita harapkan akan mulai menjelma kembali pada abad ke-21 nanti yang akan membebaskan manusia dari kehancuran (seperti yang dikemukakan oleh Einstein). Bagaimana caranya bagi kita untuk mengalihkan ilmu dari arah yang keliru itu ke arah yang benar?
Kita
harus berubah 180 ̊. Kita tidak hanya mengandalkan diri pada akal saja, akan
tetapi meletakkan akal di bawah ketentuan-ketentuan (nash-nash) dari Alloh.
Atau dengan kata lain kita bina ilmu dengan dipandu dengan normatif dari Alloh
SWT, atau naqliah memandu aqliah.
Jelas
bahwa ini merupakan gagasan yang sama sekali baru di dunia ilmiah. Mungkin
banyak muslim yang akan menentangnya, terutama sekali mereka yang
menyatakan bahwa ilmu itu netral.
Merekalah yang menyatakan bahwa ilmu itu ibarat uang, maka tak perlu diganggu
gugat, namun yang perlu diperhatikan adalah penggunaannya. Atau dengan kata
lain, segi epistemologisnya biarkan saja, yang perlu diperhatikan adalah segi
aksiologisnya. Dalam hal aksiologis inilah kekurangan dari ilmu-ilmu Barat.
Namun seperti yang diuraikan di muka bahwa justru kelemahan ilmu barat itu
letaknya pada segi epistemologisnya yang keliru, dan
semakin lama akan menjadi semakin keliru.
Selain
itu dikatakan bahwa sains itu berfungsi explanatory (menjelaskan),
sedangkan normatif berfungsi menetapkan mana yang benar dan mana yang
salah. Maka normatif dan explanatory (kausal) itu tidsak bisa campur, karena
merupakan dunia yang sama sekali berbeda. Kausal sifatnya tidak normatif,
sedangkan yang normatif itu bukan sebab akibat. Menurut saya pandangan itu sama
sekali keliru. Pandangan saya bahwa normatif dari Alloh SWT adalah nomotetik
(kausal) yang benar.
Tentu
sangat benar bahwa normatif buatan manusia itu tidaklah bersifat kausal. Hal
ini berbeda dengan normatif buatan Alloh SWT, di mana normatif itu merupakan
patokan untuk mengetahui sebab akibat. Perintah Alloh untuk sembahyang
dilatarbelakangi oleh sesuatu yang bila sembahyang itu tidak dilakukan akan
menimbulkan petaka.
Demikian pula perintah untuk meninggalkan riba dilatarbelakangi
bahwa larangan itu bila tidak dijalankan akan menimbulkan petaka. Hal itu sudah
dibuktikan oleh Keynes bahwa justru karena interest of capital itu harus
dibayar, maka timbullah pengangguran. Jadi larangan riba itu adalah agar tidak
timbul pengangguran atau unemployment dalam perekonomian suatu bangsa. Maka
ketentuan-ketentuan normatif atau nash-nash itu adalah patokan kebenaran, dan
semua itu dilatarbelakangi oleh suatu sebab akibat. Kita diwajibkan oleh Alloh
menemukan sebab-akibat itu dengan akal. (Soewardi, 1998: 93-96)
B.
Hubungan
Ilmu, Filsafat dan Agama
Ada
perbedaan yang sangat prinsipil antara ilmu dan pengetahuan. Menurut Susanto
(2010:122), ilmu bisa juga disebut sebagai pengetahuan dalam arti pengetahuan
yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai
objek studi. Sedangkan pengetahuan adalah sesuatu yang menjelaskan tentang
adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui
pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi dan sebagainya. Jadi dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan mempunyai cakupan yang lebih luas dan umum
daripada ilmu.
Sementara
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masalah-masalah yang
berkenaan dengan segala sesuatu secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat
yang sebenarnya.
Kedudukan
filsafat sebagai ilmu pengetahuan dikenal sebagai induk dari segala ilmu
pengetahuan, dengan demikian filsafat mempunyai cabang, menurut Jujun S.
Suriasumantri (2005:22) yang meminjam pemikiran Will Durant, filsafat dapat
diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan
infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya
adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangakan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan,
menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali pergi
menjelajah laut lepas; berspekulasi dan meneratas.
Seorang
yang skeptis akan berkata: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat
namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas kelihatannya demikian, namun
pandangan yang salah paham ini dapat dihilangkan jika kita sadar bahwa filsafat
adalah merupakan pionir yang memberikan ruang dan wilayah bagi pengetahuan
untuk mengembangkan diri. Semua ilmu akan bertolak dari pijakan filsafat baik
itu ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Mengenai
objek filsafat, sama halnya dengan objek ilmu pengetahuan terdiri dari dua
objek, yaitu objek materi dan objek formal. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa yang menjadi objek filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada. Namun, secara garis besarnya filsafat terdiri dari tiga aspek,
yaitu alam, manusia dan Tuhan.
Sedangkan
agama menurut bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan gama. A berarti “tidak”
dan gama berarti “kacau”. Jadi kata agama diartikan tidak kacau, tidak
semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.
Pengertian
agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhoan
Tuhan (sebutkan faktornya). Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa,
yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur
seluruh alam dan beserta isinya.
Dalam
penjelasan selanjutnya, agama dibedakan dengan agama wahyu dan agama bukan
wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas
menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang dijadikan rujukan
dan tuntunan tentang baik dan buruk. Sedangkan pada agama yang bukan wahyu
tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi (Suisanto,
2010:125).
Manusia
mencari dan menemukan kebenaran dengan dena dalam agama dengan jalan
mempertanyakan (mencari jawaban tentang) pelbagai masalah asasi dari atau
kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas planet bumi
ini.
C.
Al-Qur’an
dan Sains
Alquran
diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi
pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat
al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran menempatkan
ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang
beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia
untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang
berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam
surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya:
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya.
Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca: berpikir),
dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Qur’an hendak menegaskan
kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi
dengan menyatakan, “Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu,
kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu, kenalilah masyarakat serta sejarahmu.”
Bahkan, ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu” (QS.
Al-Maidah:105), yakni wahai orang-orang yang beriman atas kalian diri kalian
sendiri. Sekarang jelas bahwa sebagai mufasir yang di antara mereka adalah
Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah, “kanalilah dirimu
sendiri.” (Supriyadi, 2010:103).
Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!”(QS.Yunus:101). Perhatikanlah yang ada di berbagai langit dan di
berbagai belahan bumi (tidak di bumi saja), perhatikanlah yang ada di seluruh
alam ini! Dengan demikian, Al-Qur’an mengajak manusia menggali sumber-sumber
pengetahuan. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh
epistemologi, artinya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.
D.
Integrasi
Pengetahuan Ke-Islaman dan Pengetahuan Umum
Setelah umat Islam mengalami
kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari
Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum
(sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran,
yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Tidak hanya sampai di sini tetapi
muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan
ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang
sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633
M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja.
Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya
berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja
memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan
pada informasi Bibel. (Jujun S. Suriasumantri, 2005:233).
Pemberian hukuman kepada para ilmuan
yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu
pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja
sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya
pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi
ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan
mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial
didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit
dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
-
Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi
rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat
pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan.
Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah
empiris (pengalaman).
-
Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai
atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu
“memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya.
Kondisi inilah yang memotivasi para
cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan
agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan.
Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh
dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut
adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”?
Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan
utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? .
Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat
dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang
pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut
adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman,
dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari
ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara
sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan
untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide
“Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah
pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah
menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Tokoh yang mengusulkan pertama kali
upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma’il
Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu
pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi
antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang lainnya, yang merupakan
antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung
oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma.
Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu
yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat
dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk
umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran
Islam.
Masalah yang muncul kemudian adalah
apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman, dengan ilmu-ilmu umum
mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip–prinsip tanpa mengacu pada
pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan
beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu
pengetahuan, sebagai berikut:
- Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
- Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
- Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
- Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden.
Azyumardi Azra, mengemukakan ada
tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara
keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama:
Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah
praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim
Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya
pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maudu>di,
pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi,
fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber
kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis
interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam.
Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat
revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan
firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din
al-Afga>ni menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga:
Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah
al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti
kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti
dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu
Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan
(sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).
Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory
pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.
Integrasi yang dimaksud di sini
adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus
menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.
Terdapat keritikan yang menarik
berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
(1) Integrasi yang
hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan
temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana
integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak
negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri …. Tapi ada
kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi
ditaklukkan oleh sains.
(2) Berkaitan
dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis).
Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi
juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu
qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai
dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan, hermeneutikal).
Amin Abdullah memandang, integrasi
keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum
yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh
karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana.
Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga
setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial,
humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri …. maka dibutuhkan
kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan
antara disiplin keilmuan.
Pendekatan integratif-interkonektif
merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan
umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi
menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
- Pendekatan
paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri
tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
- Pendekatan
Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada
kemungkinan berat sebelah.
- Pendekatan
Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan
dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil
manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain
serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri
sendiri.
Pendekatan integratif-interkonektif
merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan
keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan
keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh
orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai
perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai
perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal,
sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.
Contoh konkrit dari proses
objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya
berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara
lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja sama (al-Musyarakah).
Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti
agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis
moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah
yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan,
teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan
seterusnya.
Perbedaan pendekatan
integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara
keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi
ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan
ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat
menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki
basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak
persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure)
antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga
keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari uraian di atas, dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam
ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan
aksiologis.
-
Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan
pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan
menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang
terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat
alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau
diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang
memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
-
Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen
penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap
hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan
Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi.
-
Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan
kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan
sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan
kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya
akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
III.
KESIMPULAN
1.
Alquran diturunkan kepada manusia
disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, juga menuntun manusia
untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.
Sejak kredibilitas Gereja sebagai
sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh suburlah pendekatan saintifik
dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekuler.
3.
Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan
Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan
Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak
dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
4.
Respon cendekiawan muslim berkaitan
hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum ada 3 tipologi, yaitu:
Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
5.
Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman
dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-interkoneksitas dan
mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.
6.
Maka di akhir abad ke-20 atau permulaan abad
ke-21 ini kita harus menghentikan kekeliruan, dan memandunya kembali kepada
arah yang benar. Inilah ilmu Tauhidullah (di bidang sains), yang kita harapkan
akan mulai menjelma kembali pada abad ke-21 nanti yang akan membebaskan manusia
dari kehancuran (seperti yang dikemukakan oleh Einstein).
Daftar Pustaka
Supriyadi, Dedi. 2010. Pengantar Filsafat Islam;
Teori dan Praktik. Bandung: Pustaka Setia.
Suriasumantri,
S. Jujun. 2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, A.
2011. Filsafat Ilmu; Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Soewardi,
Herman. 1998. Nalar; Kontemplasi dan Realita. Bandung.
Sumber Lain:
wordpress.com. Diakses tanggal
22-12-2011