Senin, 03 Desember 2012

MENYONGSONG INTEGRASI-INTERKONEKSI SAINS DAN AGAMA



MENYONGSONG INTEGRASI-INTERKONEKSI SAINS DAN AGAMA
    I.     PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dunia saat ini mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis energi sampai krisis moral. Pada tataran gaya hidup (life style) manusia tidak sedikit yang terjerumus ke dalam gaya hidup yang berlebihan, mubadzir dan hedonism. Pada tataran alam semesta terjadi fenomena kerusakan alam (lingkungan) yang semakin lama semakin membahayakan keberadaan makhluk hidup di bumi termasuk manusia seperti gunung es yang meleleh di Kutub Utara, lapisan ozon yang bolong dan semakin membesar di bagian kutub selatan, gempa bumi dan tsunami berantai serta isu perubahan iklim yang disebut sebagai fenomena global warming.
Oleh banyak ahli, berbagai krisis yang melanda dunia ini ditenggarai dikarenakan ummat manusia tidak berperilaku sebagaimana mestinya (benar dan baik).Kesalahan perilaku ummat manusia tersebut disinyalir oleh para ahli tersebut karena pola pendidikan yang dikembangkan saat ini kurang tepat.
Saat ini pendidikan dikembangkan dengan memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Mungkin ungkapan para tokoh agama seperti para ustad dan kiayi ada benarnya bahwa cukuplah hidup di dunia ini dengan berbekal ilmu agama, walaupun gagap ilmu dan teknologi tidak akan membuat kita merasa terancam dan terasing oleh kehidupan dan justru akan mampu mengendalikan kehidupan dengan baik, bukan sebaliknya dikendalikan oleh kehidupan itu sendiri. Berbeda halnya dengan kehidupan yang hanya dibekali dengan ilmu-ilmu umum saja, mereka akan merasakan kehidupan yang hampa walaupun terlihat nyaman dalam buaian ilmu dan teknologi. Mereka layaknya seperti kuda yang dipecut oleh joki (baca: ilmu dan teknologi) untuk berlari kencang dan pada akhirnya akan menyengsarakan dia sendiri tanpa memperoleh apa-apa.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.
Solusi terhadap masalah dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum telah banyak ditawarkan oleh beberapa ahli. Minimal ada tiga solusi terhadap masalah dikotomi tersebut, yaitu islamisasi sains, ilmuisasi islam, dan integrasi-interkoneksi.

B.   Permasalahan
Permasalahan yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menginterkoneksikan ilmu-ilmu umum (sains) dengan agama.
II.            PEMBAHASAN
A.          Krisis Ilmu Barat
Setelah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun kita menggeluti ilmu barat sekuler, maka ada dua macam reaksi di dalam benak kita yang berbeda satu sama lain. Pertama, kita merasa betah di dalamnya, dan karena itu kita merasa kagum kepadanya. Betah karena ilmu itu dipaparkan dan dikembangkan berdasarkan pada patokan-patokan (hukum-hukum) logika yang ramping, tegas dan lugas, sehingga ilmu itu dapat menyatakan dirinya  di kala benar dan di kala salah. Atau salah benarnya ilmu itu terdapat di dalam proses berpikir (nalar) yang ada di dalam tubuh ilmu itu sendiri.  Sehubungan dengan ini kita dibuat kagum terhadapnya, dan mengira bahwa hanya itulah yang benar, dan tidak bisa lain daripada itu. Sebaliknya, bila bertentangan dengan itu, maka yang bertentangan dengan itu pasti salah. Namun kedua, yang tidak sama dengan yang pertama itu, kita memaklumi bahwa ilmu Barat itu berkembang, dari sederhana menjadi kompleks. Dalam ilmu alamiah, perkembangan itu merupakan peningkatan dari pra-newtonian ke Newtonian, dan akhirnya ke pasca-newtonian. Tentu saja perkembangan dari sederhana ke kompleks atau canggih itu logis dan wajar, namun tampak kepada kita bahwa perkembangan itu, yang tadinya dianggap benar, setelah ada yang baru, maka yang lama itu menjadi salah. Karena itu apa yang hari ini disebut benar, besok mungkin salah, dan tidak cukup begitu. Di dalam upaya pemanfaatan ilmu itu untuk kenikmatan hidup manusia, banyak pakar barat sendiri yang menyalahkannya. Einstein menyatakan bahwa ” ...dalam perperangan ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membuat hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang indah ini ya ng menghemat kerja dan membuat hidup kita lebih muda, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali bagi kita?”
Barat sangat mengandalkan diri pada akal. Mereka katakan bahwa akal itu ialah yang benar dan tidak ada yang lebih benar daripada akal itu.
Maka bila ternyata akal mereka itu telah membawa pada sesuatu yang ternyata keliru, maka mereka menjadi kalang kabut. Ini mereka sebut skeptisisme, yang skeptisisme mereka itu benar, tapi mereka hanya tahu bahwa itu salah dan kalang kabut untuk sampai kepada yang benar. Mereka menjadi mandeg, tak tahu lagi apa yang harus dikerjakan. Mereka sangat percaya kepada empirisme dan positivisme, namun tetap dengan skeptisisme, dan dengan itu saja mereka tidak bisa sampai kepada yang benar. Mengapa demikian?
Karena yang benar itu satu, sedangkan yang tidak benar itu banyaknya tak terhingga. Maka untuk sampai kepada yang benar kita harus menempuh kesalahan yang banyaknya tak terhingga, dengan kata lain dengan mengetahui yang salah saja kita tidak akan sampai kepada yang benar.
Namun untunglah bagi kita, Tuhan YME, yang menciptakan itu semua, telah memberitahukan kepada kita (melalui Nabi Muhammad SAW) mana yang benar, mana yang salah. Yang benar adalah perintahNya bagi kita untuk kita jalani, sedangkan yang salah adalah laranganNya bagi kita untuk kita hindari. Dan diantara perintah dan larangan itu adalah apa-apa yang boleh kita lakukan.
Ilmu termasuk kepada perintah Allah SWT, yang harus kita lakukan sejauh ada pada kemampuan setiap individu. Ilmu itu termasuk ciptaan Allah SWT, berupa firman Allah yang tidak beruba-ubah sepanjang zaman. Ini adalah kebenaran yang diperintahkan kepada manusia untuk mengungkapkannya. Segala apa yang menyimpang dari padanya adalah kekeliruan. Tentu saja ada kekeliruan besar dan kekeliruan kecil, namun semua itu keliru. Dan yang lebih menyedihkan lagi bahwa ilmu Barat itu ternyata merupakan kekeliruan arah yang makin lama makin keliru.

Maka di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21 ini kita harus menghentikan kekeliruan, dan memandunya kembali kepada arah yang benar. Inilah ilmu Tauhidullah (di bidang sains), yang kita harapkan akan mulai menjelma kembali pada abad ke-21 nanti yang akan membebaskan manusia dari kehancuran (seperti yang dikemukakan oleh Einstein). Bagaimana caranya bagi kita untuk mengalihkan ilmu dari arah yang keliru itu ke arah yang benar?

Kita harus berubah 180 ̊. Kita tidak hanya mengandalkan diri pada akal saja, akan tetapi meletakkan akal di bawah ketentuan-ketentuan (nash-nash) dari Alloh. Atau dengan kata lain kita bina ilmu dengan dipandu dengan normatif dari Alloh SWT, atau naqliah memandu aqliah.
Jelas bahwa ini merupakan gagasan yang sama sekali baru di dunia ilmiah. Mungkin banyak muslim yang akan menentangnya, terutama sekali mereka yang menyatakan  bahwa ilmu itu netral. Merekalah yang menyatakan bahwa ilmu itu ibarat uang, maka tak perlu diganggu gugat, namun yang perlu diperhatikan adalah penggunaannya. Atau dengan kata lain, segi epistemologisnya biarkan saja, yang perlu diperhatikan adalah segi aksiologisnya. Dalam hal aksiologis inilah kekurangan dari ilmu-ilmu Barat. Namun seperti yang diuraikan di muka bahwa justru kelemahan ilmu barat itu letaknya pada segi epistemologisnya yang keliru, dan semakin lama akan menjadi semakin keliru.
Selain itu dikatakan bahwa sains itu berfungsi explanatory (menjelaskan), sedangkan normatif berfungsi menetapkan mana yang benar dan mana yang salah. Maka normatif dan explanatory (kausal) itu tidsak bisa campur, karena merupakan dunia yang sama sekali berbeda. Kausal sifatnya tidak normatif, sedangkan yang normatif itu bukan sebab akibat. Menurut saya pandangan itu sama sekali keliru. Pandangan saya bahwa normatif dari Alloh SWT adalah nomotetik (kausal) yang benar.
Tentu sangat benar bahwa normatif buatan manusia itu tidaklah bersifat kausal. Hal ini berbeda dengan normatif buatan Alloh SWT, di mana normatif itu merupakan patokan untuk mengetahui sebab akibat. Perintah Alloh untuk sembahyang dilatarbelakangi oleh sesuatu yang bila sembahyang itu tidak dilakukan akan menimbulkan petaka.
Demikian pula perintah untuk meninggalkan riba dilatarbelakangi bahwa larangan itu bila tidak dijalankan akan menimbulkan petaka. Hal itu sudah dibuktikan oleh Keynes bahwa justru karena interest of capital itu harus dibayar, maka timbullah pengangguran. Jadi larangan riba itu adalah agar tidak timbul pengangguran atau unemployment dalam perekonomian suatu bangsa. Maka ketentuan-ketentuan normatif atau nash-nash itu adalah patokan kebenaran, dan semua itu dilatarbelakangi oleh suatu sebab akibat. Kita diwajibkan oleh Alloh menemukan sebab-akibat itu dengan akal. (Soewardi, 1998: 93-96)

B.     Hubungan Ilmu, Filsafat dan Agama
Ada perbedaan yang sangat prinsipil antara ilmu dan pengetahuan. Menurut Susanto (2010:122), ilmu bisa juga disebut sebagai pengetahuan dalam arti pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi. Sedangkan pengetahuan adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi dan sebagainya. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan mempunyai cakupan yang lebih luas dan umum daripada ilmu.
Sementara filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan segala sesuatu secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat yang sebenarnya.
Kedudukan filsafat sebagai ilmu pengetahuan dikenal sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, dengan demikian filsafat mempunyai cabang, menurut Jujun S. Suriasumantri (2005:22) yang meminjam pemikiran Will Durant, filsafat dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali pergi menjelajah laut lepas; berspekulasi dan meneratas.
Seorang yang skeptis akan berkata: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas kelihatannya demikian, namun pandangan yang salah paham ini dapat dihilangkan jika kita sadar bahwa filsafat adalah merupakan pionir yang memberikan ruang dan wilayah bagi pengetahuan untuk mengembangkan diri. Semua ilmu akan bertolak dari pijakan filsafat baik itu ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Mengenai objek filsafat, sama halnya dengan objek ilmu pengetahuan terdiri dari dua objek, yaitu objek materi dan objek formal. Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang menjadi objek filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Namun, secara garis besarnya filsafat terdiri dari tiga aspek, yaitu alam, manusia dan Tuhan.
Sedangkan agama menurut bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan gama. A berarti “tidak” dan gama berarti “kacau”. Jadi kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.
Pengertian agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhoan Tuhan (sebutkan faktornya). Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam dan beserta isinya.
Dalam penjelasan selanjutnya, agama dibedakan dengan agama wahyu dan agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang dijadikan rujukan dan tuntunan tentang baik dan buruk. Sedangkan pada agama yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi (Suisanto, 2010:125).
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dena dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas planet bumi ini.



C.     Al-Qur’an dan Sains
Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya.
Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca: berpikir), dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Qur’an hendak menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dengan menyatakan, “Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu, kenalilah masyarakat serta sejarahmu.” Bahkan, ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu” (QS. Al-Maidah:105), yakni wahai orang-orang yang beriman atas kalian diri kalian sendiri. Sekarang jelas bahwa sebagai mufasir yang di antara mereka adalah Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah, “kanalilah dirimu sendiri.” (Supriyadi, 2010:103).
Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!”(QS.Yunus:101). Perhatikanlah yang ada di berbagai langit dan di berbagai belahan bumi (tidak di bumi saja), perhatikanlah yang ada di seluruh alam ini! Dengan demikian, Al-Qur’an mengajak manusia menggali sumber-sumber pengetahuan. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi, artinya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.

D.     Integrasi Pengetahuan Ke-Islaman dan Pengetahuan Umum
Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel. (Jujun S. Suriasumantri, 2005:233).
Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
-       Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).
-       Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu “memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya.
Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma’il Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam.
Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip–prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi  ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
  1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
  2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
  3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
  4. Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden.
Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maudu>di, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afga>ni  menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme). Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.
Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.
Terdapat keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
(1)    Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri …. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.
(2)    Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).
Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri …. maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
-     Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
-     Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
-     Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.  Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.
Contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya.
Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.
-       Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
-       Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
-       Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
III.            KESIMPULAN
1.        Alquran diturunkan kepada manusia disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, juga menuntun manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.        Sejak kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh suburlah pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekuler.
3.        Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa  dampak negatif bagi kehidupan manusia.
4.        Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
5.        Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.
6.        Maka di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21 ini kita harus menghentikan kekeliruan, dan memandunya kembali kepada arah yang benar. Inilah ilmu Tauhidullah (di bidang sains), yang kita harapkan akan mulai menjelma kembali pada abad ke-21 nanti yang akan membebaskan manusia dari kehancuran (seperti yang dikemukakan oleh Einstein).

Daftar Pustaka
Supriyadi, Dedi. 2010. Pengantar Filsafat Islam; Teori dan Praktik. Bandung: Pustaka Setia.
Suriasumantri, S. Jujun. 2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu; Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Soewardi, Herman. 1998. Nalar; Kontemplasi dan Realita. Bandung.
Sumber Lain:
wordpress.com. Diakses tanggal 22-12-2011


Fenomena Media Online dalam Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi



Teknologi informasi telah membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, interaksi baru, market place baru, dan sebuah jaringan bisnis dunia tanpa batas. Nah menyadari bahwa perkembangan teknologi yang disebut Internet telah perubahan pola interaksi masyarakat, yaitu; interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah diberikan seperti kontribusi besar bagi masyarakat, perusahaan / industri dan pemerintah. Kehadiran internet telah mendukung efektivitas dan efisiensi operasi, terutama perannya sebagai sarana komunikasi, publikasi, dan sarana untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh sebuah badan usaha dan bentuk perusahaan atau lembaga lainnya. Di seluruh daerah Internet masih relatif baru untuk katakan adalah dikenal oleh Indonesia dan frekuensi menjadi lebih berani untuk digunakan dikembangkan, sehingga pengguna internet telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Pengembangan juga telah menimbulkan peningkatan jumlah penyedia layanan internet (ISP). Untuk memberikan pelayanan yang baik diperlukan JSA opini publik sebagai pengguna internet, sehingga semua kelemahan dan kekurangan yang dihadapi saat ini dapat lebih ditingkatkan.
Media Online telah merebut perhatian masyarakat sekarang ini karena hampir semua orang yang memiliki mobilephone yang disebut ‘handphone’ telah menyediakan fasilitas internet akses. Hal ini telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa bahkan ketergantungan manusia pada media Online yang disebut internet.
Pesatnya penggunaan internet berpengaruh secara meluas tidak hanya pada bidang teknologi, tetapi juga pada aspek sosial, politik, ekonomi-budaya, termasuk media massa. Dengan adanya internet, terjadi pemekaran (konvergensi) dari jenis-jenis media yang sudah ada sebelumnya. Perkembangan teknologi media yang cepat dengan kemampuan konvergensinya, secara perlahan tapi pasti akan berdampak pada sistem kerja media massa, terutama praktik jurnalistik. Meskipun prinsip-prinsip yang berkaitan dengan etika dasar tetap dipertahankan sesuai nilai universal jurnalisme: akurat, objektif, fair, seimbang, dan tidak memihak, namun dalam praktiknya, kehadiran jurnalisme online yang difasilitasi internet sedikit banyak mereduksi teknik-teknik jurnalisme konvensional yang selama ini berlaku. Perubahan itu tampak dari peran jurnalis, fungsi gatekeeper, karakteristik medium, hingga perilaku audiensnya.
Beberapa formula dalam pemberitaan media online yang berbeda dengan media konvensional antara lain: Pertama, berita cepat tayang dan bahkan real time karena internet mampu memperpendek jarak antara peristiwa dan berita. Pada saat peristiwa berlangsung, beritanya bisa dipublikasikan secara luas. Kedua, berita ditayangkan kapan saja, dari mana saja, tanpa memperhitungkan luas halaman dan durasi, karena internet memang tidak memiliki problem ruang dan waktu dalam mempublikasikan informasi. Ketiga, berita diformat dalam bentuk singkat dan padat karena informasi terus mengalir dan berubah sewaktu-waktu. Namun kelengkapan informasi tetap terjaga karena antara berita yang satu dengan berita yang lain bisa dikaitkan (linkage) hanya dengan satu klik. Keempat, untuk menjaga kepercayaan pembaca, ralat, update, dan koreksi dilakukan secara periodik dan konsisten. Ini sekaligus memanfaatkan kekuatan interaktif internet (Supriyanto dan Yusuf, 2007: 104-105).
Berdasarkan fenomena ini kami berpendapat bahwa sudah menimbulkan ‘satu’ permasalahan di dalam nilai-nilai ”filosofis” komunikasi. Dengan hadirnya internet sebagai alat komunikasi di Indonesia yang berkembang begitu cepat, sehingga suka atau tidak suka kita akan menghadapi dilematis keterbukaan informasi yang sesungguhnya belum tentu menguntungkan masyarakat kita. Cepat atau lambat akan memperlihatkan efek positif dan negatif kepada masyarakat.
Fenomena ini menjadi menarik karena jika dirunut dari akar permasalahannya, problematika yang dihadapi oleh situs berita pada prinsipnya adalah bagaimana mengelola isi (content) situs bersangkutan, bukan hanya membangun web portal, lalu tinggal mengembangkannya saja. Untuk bisa tetap survive sebuah media online seperti situs berita membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang matang. Sejumlah kekhasan yang dimiliki media ini membuat para pengelolanya harus memperhatikan aspek-aspek pengelolaan informasi yang berbeda dengan media lain.
Banyaknya peristiwa yang terjadi dalam waktu bersamaan, pengutamaan kecepatan waktu penyampaian informasi, ruang media online yang terbatas, keterbatasan SDM yang dimiliki, serta karakter teknologi media yang kompleks, membuat format media dan produksinya pun akan berubah. Kenyataan ini seharusnya dapat diantisipasi oleh para pengelola media online. Sebagai contoh, sebuah studi yang dilakukan oleh Singer (2001) mengindikasikan bahwa ketika suratkabar menjadi online, peran penjaga gerbang (gatekeeper) mereka “menghilang” digantikan oleh tirani kecepatan (updating).
Perkembangan Internet di Indonesia semakin hari semakin memperlihatkan kecenderungan yang mencampuradukan berita dan hiburan melalui format jejaring sosial bahkan melalui TV kabel yang bisa menyuguhkan tayangan tanpa batas atau sejenis ”infotainment”.  Pergeseran nilai atas fungsi komunikasi data menjadi bukti betapa pentingnya pemahaman bagi pakar Ilmu Komunikasi untuk meneliti dan meletakkan acuan layanannya  secara dinamis tetapi bertanggungjawab.
Awalnya banyak yang meragukan kemampuan internet menyingkirkan media cetak, apalagi radio dan televisi karena sifat internet yang tidak praktis dan mahal. Kenyataannya, asumsi bahwa internet tidak praktis hanya bertahan beberapa tahun. Internet dahulu dinilai tidak praktis karena dalam mengoperasikan dibutuhkan komputer, ruang khusus untuk komputer, serta jaringan telekomunikasi yang handal. Kini perkembangan perangkat keras teknologi komputer sudah menciptakan komputer jinjing-portable (laptop) yang bisa dibawa ke mana-mana sebagaimana orang menenteng koran. Teknologi Wi-Fi juga memungkinkan akses internet secara mudah di berbagai tempat yang menyediakan titik-titik hotspot untuk menikmati fasilitas tersebut. Munculnya teknologi broadband bahkan memudahkan orang mengakses internet di mana saja dengan teknologimobile. Bila teknologi AMPS (generasi pertama/1G) yang muncul pada awal 1990-an sekadar melampaui keterbatasan fungsi telepon yang statis menjadi dinamis, serta hanya menampilkan suara, maka pada teknologi GSM (generasi kedua/2G) yang bergerak pada pertengahan dekade 1990-an, teknologi seluler tidak hanya mampu menjadi wahana tukar informasi dalam bentuk suara tetapi juga data, berupa teks dan gambar (SMS dan MMS). Karena murah, akses teknologi mobile generasi kedua ini berkembang pesat di Indonesia, sehingga memasuki 2000-an, handphone menjadi perangkat hidup (gadget) sehari-hari.
Sejak tahun 2006, masyarakat di Indonesia sudah bisa menikmati layanan audio-visual yang lebih canggih dengan teknologi generasi ketiga (3G). Ada juga pilihan koneksi internet ke aplikasi seluler dengan sistem UMTS, WiFi, dan WiMax. Berkaitan dengan kecepatan akses, beberapa jaringan operator seluler sudah memiliki jaringan paling cepat yang dikenal denganhigh-speed downlik packet access (HSDPA) atau yang sering disebut dengan 3,5G, yaitu generasi yang merupakan penyempurnaan dari 3G. Terakhir, vendor maupun operator seluler sudah mulai menggunakan teknologi next generation network (NGN) atau 4G (Subarkah, Kompas, 29 Juni 2007).
Perspektif Ontologi
Media online adalah sebutan umum untuk sebuah bentuk media yang berbasis telekomunikasi dan multimedia (baca-komputer dan internet). Didalamnya terdapat portal, website (situs web), radio-online, TV-online, pers online, mail-online, dll, dengan karakteristik masing-masing sesuai dengan fasilitas yang memungkinkan user memanfaatkannya”.
Salah satu pendekatan dalam memahami media online juga dipaparkan oleh Ashadi Siregar, Ia melihat media online, melalui kacamata pendefinisian suratkabar digital, yakni sebuah entitas yang merupakan integrasi media massa konvensional dengan internet. Identifikasinya terhadap ciri-ciri yang melekat pada surat kabar digital ditulisnya sebagai berikut :
1.      adanya kecepatan (aktualitas) informasi
2.      bersifat interaktif, melayani keperluan khalayak secara lebih personal
3.      memberi peluang bagi setiap pengguna hanya mengambil informasi yang relevan bagi dirinya/dibutuhkan
4.      kapasitas muatan dapat di perbesar
5.      informasi yang pernah disediakan tetap tersimpan (tidak terbuang), dapat ditambah kapan saja, dan pengguna dapat mencarinya dengan menggunakan mesin pencari
6.      tidak ada waktu yang diistimewakan (prime time) karena penyediaan informasi berlangsung tanpa putus, hanya tergantung kapan pengguna mau mengakses.

Salah satu desain media online yang paling umum diaplikasikan dalam praktik jurnalistik modern dewasa ini adalah berupa situs berita. Situs berita atau portal informasi sesuai dengan namanya merupakan pintu gerbang informasi yang memungkinkan pengakses informasi memperoleh aneka fitur fasilitas teknologi online dan berita didalamnya. Content-nya merupakan perpaduan layanan interaktif yang terkait informasi secara langsung, misalnya tanggapan langsung, pencarian artikel, forum diskusi, dll; dan atau yang tidak berhubungan sama sekali dengannya, misalnya games, chat, kuis, dll (Iswara, 2001).
Lebih lanjut tentang media online berupa portal informasi ini, Iswara (2001) menjelaskan karakteristik umum yang dimiliki media jenis ini, yaitu:
1.      Kecepatan (aktualitas) informasi
Kejadian atau peristiwa yang  terjadi di lapangan dapat langsung di upload ke dalam situs web media online ini, tanpa harus menunggu hitungan menit, jam atau hari, seperti yang terjadi pada media elektronik atau media cetak. Dengan demikian mempercepat distribusi informasi ke pasar (pengakses), dengan jangkauan global lewat jaringan internet, dan dalam waktu bersamaan .dan umumnya informasi yang ada tertuang dalam bentuk data dan fakta bukan cerita.
2.      Adanya pembaruan (updating) informasi
Informasi disampaikan secara terus menerus, karena adanya pembaruan (updating) informasi. Penyajian yang bersifat realtime ini menyebabkan tidak adanya waktu yang diiistemewakan (prime time) karena penyediaan informasi berlangsung tanpa putus, hanya tergantung kapan pengguna mau mengaksesnya.
3.      Interaktivitas
Salah satu keunggulan media online ini yang paling membedakan dirinya dengan media lain adalah fungsi interaktif. Model komunikasi yang digunakan media konvensional biasanya bersifat searah (linear) dan bertolak dari kecenderungan sepihak dari atas (top-down). Sedangkan media online bersifat dua arah dan egaliter. Berbagai features yang ada seperti chatroom, e-mail, online polling/survey, games, merupakan contoh interactive options yang terdapat di media online. Pembaca pun dapat menyampaikan keluhan, saran, atau tanggapan ke bagian redaksi dan bisa langsung dibalas.
4.      Personalisasi
Pembaca atau pengguna semakin otonom dalam menentukan informasi mana yang ia butuhkan. Media online memberikan peluang kepada setiap pembaca hanya mengambil informasi yang relevan bagi dirinya, dan menghapus informasi yang tidak ia butuhkan. Jadi selektivitas informasi dan sensor berada di tangan pengguna (self control).
5.      Kapasitas muatan dapat diperbesar
Informasi yang termuat bisa dikatakan tanpa batas karena didukung media penyimpanan data yang ada di server komputer dan sistem global. Informasi yang pernah disediakan akan tetap tersimpan, dan dapat ditambah kapan saja, dan pembaca dapat mencarinya dengan mesin pencari (search engine).
6.      Terhubung dengan sumber lain (hyperlink)
Setiap data dan informasi yang disajikan dapat dihubungkan dengan sumber lain yang juga berkaitan dengan informasi tersebut, atau disambungkan ke bank data yang dimiliki media tersebut atau dari sumber-sumber luar. Karakter hyperlink ini juga membuat para pengakses bisa berhubungan dengan pengakses lainnya ketika masuk ke sebuah situs media online dan menggunakan fasilitas yang sama dalam media tersebut, misalnya dalam chatroom, lewat e-mail atau games.
Perspektif Aksiologi
Internet adalah habitat paling sesuai untuk teori Uses and gratification, Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Disini khalayak bersifat Aktif, selektif memilih apa yang ia butuhkan.
Menurut Elihu Katz et. al, kebutuhan individual (individual’s need) dikategorisasikan sebagai cognitive needs, affective needs, personal integrative needs, social integrative needs dan escapist needs. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.      Cognitive needs (Kebutuhan Kognitif)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan informasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai lingkungan; juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk penyelidikan kita.
2.      Affective needs (Kebutuhan afektif)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis, menyenangkan dan emosional.
3.      Personal integrative needs (Kebutuhan personal secara integratif)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas dan status individual. Hal-hal tersebut diperoleh dari hasrat akan harga.
4.      Social integrative needs (kebutuhan Pribadi secara sosial)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga, teman dan dunia. Hal tersebut didasarkan pada hasrat untuk berafiliasi.
5.      Escapist needs (Kebutuhan pelepasan)
Kebutuhan yang berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan, ketegangan, dan hasrat akan keanekaragaman.
Sejak beberapa tahun silam media online sudah tersebar dan melingkupi bumi yang satu adanya ini.  Bahkan di dunia Barat telah dipakai untuk keperluan pendidikan dan pengajaran siswa di sekolah maupun universitas.
Lantas apa manfaat media online? Banyak sekali, Salah satunya ialah guru atau dosen bisa menyebarkan pengetahuan dan pengalamannya secara leluasa alias lintas batas, ruang dan waktu. Tadinya hanya mampu dikonsumsi 40-50-an murid atau mahasiswa di sebuah ruang kelas, tapi kini sembari duduk di selasar kampus, materi pengajaran tadi bisa disebar ke seluruh dunia dengan metode teleconference.
Di negara seperti Inggris dan Amerika, media online mampu merambah ke pelosok (sub urban area)  dan daerah terpencil lainnya, sehingga penduduk di sana tak terisolir dan tetap bisa memamah beragam informasi mutakhir yang berguna bagi aktivitas keseharian penghidupan mereka. Misalnya, perihal teknik pertanian organik, itu bisa diakses secara mudah lewat http://www.google.com/ ataupun kamus online wikipedia. Selain itu dengan hadirnya media online tersebut, anak-anak dapat mengakses gambar, musik dan film yang berguna bagi pemekaran jiwa. Tapi tentu perlu pendampingan khusus.
Bagi masyarakat Indonesia media online niscaya bermanfaat pula. Kenapa? Karena hanya dengan bermodal perangkat komputer sederhana dan koneksi internet yang ke depan niscaya lebih murah, orang bisa mengakses informasi lowongan kerja, berita bisnis sains, filsafat dan perkembangan situasi terkini di pelbagai belahan dunia. Semuanya itu merupakan makanan bagi jiwa dan pikiran kita. Misalnya, seputar aktivitas men-copas (copy-paste) gambar-gambar,  men-download lagu-lagu dari multiply, berkomunikasi via facebook maupun twitter dengan sahabat dari Tionghoa, Jepang, Arab, Eropa, Afrika dan lain-lain, niscaya dapat memperdalam pemahaman lintas budaya (cross cultural undersatanding) sekaligus membuka cakrawala pandang anak bangsa sehingga tak terjebak dalam fanatisme berbau primordial dan sektarian.
Tapi selain memfasilitasi kita untuk menyebarkan informasi dan kesadaran, media online juga mengandung bahaya laten bila disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggungjawab. Misalnya, dengan menyebarkan black campaign bernuansa SARA di milist-milist, film-film katarsis seksual via situs youtube, ancaman ataupun intimidasi lewat e-mail yang mendeskreditkan kelompok minoritas tertentu, dan sebagainya. Oleh sebab itu, praktisi media online senantiasa mensortir dan memantau sajian berita sehingga perkakas tersebut tidak kontraproduktif dan justru merugikan kepentingan umum.
Banyak Manfaat Yang Bisa Di Dapat Dengan Menggunakan Internet,yaitu :
1.      Setiap Orang Yang Ingin Membuka Usaha Seperti Menjual Buku,pakaian,atau Mempromosikan Perusahaan Mereka Bisa Membuat Toko Online.
2.      Seperti Yang Lagi Tren Sekarang ini,Orang-Orang Bisa Mendapatkan Banyak Teman baru,Kenalan Baru Dengan Adanya Situs Jejaring (Sosial Networking) Seperti friendster,Facebook,Plurk,Twitter,Dan Masih Banyak Lagi Lainnya.
3.      Orang Yang Tinggal Di Tempat Yang Berbeda/Berjauhan Dengan keluarga Bisa Bertukar Informasi/Kabar Dengan menggunakan Email.
Namun Internet Tidak Selalu Berdampak Baik Bagi Masyarakat Karena Internet Juga Membawa Dampak Buruk Bagi Masyarakat Seperti :
1.      Masyarakat Menjadi Malas,Karena Mereka Beranggapan Dengan Adanya Internet Semua Pekerjaan Bisa Dengan Mudah Di Kerjaan (mau Informasi Ini Tinggal Cari Di Google) jadi Otak ATau Pikiran Mereka TIdak Di Gunakan Lagi untuk Mengerjakan Pekerjaan Mereka.
2.      Bagi Masyarakat Muda Khususnya Banyak Menyalahgunakan internet untuk Mencari Informasi Yang Seharusnya Tidak Mereka Cari Seperti Membuka Situs" Dewasa,mencari Gambar-Gambar Fulgar,Dan Semacamnya.
3.      Banyak Orang Memanfaatkan Internet untuk Melakukan Berbagai Macam Kejahatan Seperti Menipu.
Meskipun banyak diwarnai kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lain, media online tetap memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan dari media online adalah kebebasan berkomunikasi dan berpendapat di dalamnya. Dan salah satu faktor yang membuat seseorang bersembunyi di balik struktur kebebasan berkomunikasi dan berpendapat adalah globalisasi. Globalisasi ini mengakibatkan penyebaran nilai-nilai kebudayaan yang salah, norma-norma dan praktek kapitalisme, serta adanya pencampuran budaya luar. Salah satu jalan untuk mengatasi hal tersebut adalah studi etika, atau disebut dengan etika online.
Etika online akan mempelajari filosofi moral, menerangkan bagaimana beersistematis, mengetahui tentang apa yang baik dan salah sesuai dengan yang diberikan oleh konteks kebudayaan. etika online sendiri didefinisikan : "suatu bentuk etika yang mengkhususkan tentang bagaimana kita mengkomunikasikan online". Pada intinya, media online tidak boleh hanya mengedepankan inovasi-inovasi terbarunya saja untuk menarik pengguna; namun juga harus mengedepankan kode etik online dalam setiap pengembangan sarananya.
Perspektif Epistemologis
          Internet telah mengalami perubahan drastis di dunia komputer dan komunikasi dewasa ini. Penemuan telegraf, telepon, radio dan komputer merupakan serangkaian tahapan perkembangan bidang komunikasi yang dalam perkembangannya dapat terintegrasi dalam sebuah jaringan internet.
            Untuk menetukan kapan munculnya Internet (media online), kita perlu melihat apa yang terjadi pada tahun 1957 yang saat itu dikenal sebagai tahun geophysical internasional, yaitu tahun yang dikenang untuk pengumpulan informasi tentang atmosfer lapis atas selama periode kegisatan matahari. Eisenhower mengumumkan bahwa sebagai bagian dari kegiatannya, pada tahun 1955 AS berharap dapat meluncurkan sebuah satelit kecil yang mengorbit pada bumi.
            Kemudian pada tahun 1957 Uni Soviet meluncurkan Sputnik I ke dalam orbit bumi. Tidak ingin ketinggalan Amerika Serikat berusaha mengimbangi kemempuan Uni Soviet tersebut. Salah satu reaksi Amerika Serikat ditekankan pada munculnya lembaga riset canggih yang dikenal sebagai Advanced Research Project Agency (ARPA) di bawah kendali Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang didukung oleh ratusan ilmuwan terkemuka dan anggaran yang cukup memadai.
Pada tahun 1962, ARPA membuka program riset komputer yang bekerjasama dengan seorang ilmuwan MIT, John Licklider. John pertama kali memublikasikan memorandum pada Jaringan Galaktik (Galaktic Network) yang menjelaskan bahwa nantinya komputer akan menjadi suatu jaringan yang dapat diakses oleh siapa saja.
            Seiring perkembangan riset-riset yang dilakukan, selanjutnya pada tahun 1984 telah diperkenalkan Domain Name Server (DNS) yang mengelompokkan nama domain yang sesuai dengan jenis kegiatannya. Sistem baru yang diperkenalkan di Amerika Serikat seperti nama domain edu (educational), com (commercial), gov (govermental), mil (military), net (network), tv (television), dan org (organizational). Sedangkan untuk nama domain di Indonesia yaitu edu, com, go, net, tv dan org.
            Berikut ini akan diketengahkan beberapa definisi internet, (Purwanto, 427:2010).
1.      Menurut Webopaedia, internet adalah suatu jaringan yang menghubungkan jutaan komputer.
2.      Menurut Barners Lee, Internet adalah suatu jaringan dari beberapa jaringan.
3.      Menurut Ned Snell, internet adalah sebuah koridor bagi berbagai jenis sumber daya yang ada padanya, dan setiap sumberdaya tersebut diakses melalui peranti yang berbeda-beda.
4.      Internet Society (ISOC), internet didefinisikan sebagai kemampuan menyampaikan informasi dan media kolaborasi dan interaksi antara individu dan komputer mereka tanpa melihat lokasi secara geografis.
5.      Menurut Martin, dkk, internet adalah suatu jaringan dari berbagai jaringan yang menggunakan protokol TCP/IP, dengan pintu gerbang koneksi ke banyak jaringan yang tidak menggunakan protokol TCP/IP.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikemukakan beberapa poin penting tentang internet, di antaranya adalah:
1.      Internet sebagai sistem informasi dan komunikasi global
2.      Internet dipahami sebagai suatu jaringan dari berbagai jarigan komputer yang ada
3.      Memiliki mekanisme penyampaian informasi kepada pihak lain
4.      Internet menggunakan protokol standar biasanya TCP/IP atau standar IP kompatibel
5.      Internet memiliki berbagai sumber daya yang dapat diakses melalui perangkat yang berbeda.

Kesimpulan
          Teknologi informasi dan komunikasi akan selalu dinamis, bergerak menuju perbaikan-perbaikan yang memberikan kemudahan atau manfaat bagi para penggunanya. Begitu juga  media online dengan jaringan internet juga akan mengalami perubahan yang memberi manfaat besar bagi penggunanya seperti dapat berkomunikasi secara global, membuka wawasan berpikir, berkreasi, menjalin persahabatan dan tak kalah pentingnya adalah biaya yang murah dalam penyampaian pesan komunikasi.
            Disamping itu tentu tetap ada kekhawatiran yang dapat ditimbulkan dari media online atau internet. Menyebarnya berbagai paham ideologi atau pandangan yang tidak sesuai dengan paham atau ideologi yang dianut oleh suatu negara lewat media online, penggunaan yang masih di bawah umur dapat dengan mudah mengakses situs yang tidak layak diakses oleh mereka, dan banyak kekhawatiran lainnya.