Bayangkan
Anda berada dalam sebuah masjid perkotaan, kebetulan waktu sholat sudah masuk.
Singkat cerita, karena imam tetap masjid belum juga hadir di tengah-tengah
jama'ah, tentu Anda bisa menebak apa yang akan terjadi. Betul sekali, para
jama'ah akan saling dorong-dorongan menunjuk salah satu dari mereka yang akan
menjadi imam. Hal ini sebetulnya tidak menjadi masalah, asal yang ditunjuk
benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi seorang imam sholat. Karena akan
menjadi patal jika sholat dipimpin oleh orang yang tidak tepat, dalam hal ini
yang paling utama fasih dan hafalan Al-Qur'annya baik walaupun sedikit. Pada
kejadian tersebut, Anda melihat sosok orang yang mengenakan pakaian rapih,
persis pakaiannya seperti layaknya seorang ustad lengkap dengan kain, kopiah,
dan sorbannya. Namun yang sebetulnya sosok ini hanyalah jama'ah biasa saja,
bahkah bacaan al-fatihahnya masih terbata-bata.
Di
sisi lain, di antara belasan atau puluhan jama'ah tersebut ada seorang jama'ah
dengan mengenakan pakaian santai, tentu Anda akan membayangkan sosok ini dengan
celana jeans dan kaos oblongnya, maklum dia baru saja pulang dari pasar dengan
kendaraan bermotornya, karena mendengarkan suara azan dia pun berhenti untuk
menghadiri sholat berjama'ah. Anggaplah bahwa sosok ini adalah seorang ustad
yang baik bacaannya (fasih), kuat hafalannya dan sholeh, namun karena
pakaiannya dengan celana jeans dan kaos oblong atau kemeja dia tidak akan
mendapat kesempatan untuk dipilih jama'ah.
Anda
mungkin dengan mudah bisa menarik kesimpulan sendiri mengapa sosok orang yang
pertama dipilih sebagai imam padahal sebetulnya ia bukanlah orang yang layak
menjadi imam, sementara sosok yang kedua tidak terpilih padahal dia memenuhi
kriteria sebagai seorang imam. Betul sekali, semua berawal dari sebuah pakaian.
Persepsi kita terlalu kuat memutuskan dan menilai berdasarkan pengalaman yang
subjektif tentang makna dan nilai sesuatu. Tidak ada yang salah dari proses
persepsi masing-masing, hanya saja kebenarannya masih bersifat relatif
tergantung sejauh mana proses konfirmasinya untuk memperoleh kebenaran
tersebut.
Gambaran
tentang diri seseorang (self image)
memegang peranan penting dalam komunikasi, baik dengan orang lain (interpersonal) maupun dengan diri kita
sendiri (intrapersonal). Self image ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh gambaran fisik seseorang (physical
image) serta penampilan fisiknya (physical
appearance). Masyarakat di belahan bumi mana pun akan mencurahkan segenap
waktunya untuk melakukan modifikasi gambaran fisiknya dalam rangka meningkatkan
dan memperkuat citra diri.
Pakaian
merupakan media komunikasi yang penting. Stone mengemukakan, pakaian
menyampaikan pesan. Pakaian bisa dilihat sebelum kata-kata terdengar. Pesan
yang dibawa oleh pakaian bergantung pada sejumlah variabel, seperti latar
belakang budaya, pengalaman, dan sebagainya. Sebagai media yang komunikatif,
pakaian memiliki beberapa fungsi. Seperti yang disebut oleh Kefgen dan Specht
menyebut ada tiga dimensi informasi tentang individu yang disebabkan oleh
pakaian, yaitu emosi, tingkah laku dan deferensiasi.
Pakaian
sebagai media komunikasi dibuktikan pula lewat penelitian Gibbins (1969).
Menurutnya, ada tiga kategori pengertian yang dapat ditimbulkan. Pertama fashionability, derajat penerimaan orang
lain terhadap pakaian seseorang sebagai masa kini, cerah dan cantik. Kedua, socialibility, derajat di mana pakaian
dapat menjelaskan peran sosial pemakai dan membuatnya tampak feminim atau
maskulin. Ketiga, formlity, derajat
yang menentukan apakah seseorang akan membuatnya tampak resmi atau santai.
Pada
mulanya, celana jeans dikenakan kaum hippies sebagai identitas perlawanan
mereka terhadap kapitalisme. Kaum hippies sebagaimana kita ketahui menolak
ideologi “kemapanan” dan terutama ketidakadilan sosial yang diciptakan sisitem
kapitalisme: si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Namun demikian secara
spesifik, komunitas hippies muncul sebagai respon terhadap kehidupan
modern-kapitalisasi kehidupan- yang mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan.
Konsep homo economicus misalnya. Umumnya mereka hidup secara bebas dalam
komunitas-komunitas kecil, tak ada aturan atau hukum yang membelengguhnya,
agama mereka adalah love and peace ‘cinta dan perdamaian,’ sedang ritual
spiritual mereka adalah ganja. Mereka menganggap ketidaksadaran merupakan
bentuk kedekatannya kepada sang Pencipta.
Menurut
mereka secara faktual dan filosofis jeans adalah “celana seumur hidup.” Jeans
dengan teksturnya yang kuat diharapkan mampu bertahan selama mungkin sehingga
mereka tak perlu berulangkali membeli pakaian. Secara eksplisit, sebetulnya
jeans mengajarkan budaya hemat, sederhana, penolakan terhadap budaya
konsumerisme. Namun sayang, pada dekade 1960-an industri (kapitalis) melihat
potensi pasar yang besar bagi celana jeans. Gerakan masif kaum hippies pun
tenggelam. Sejak saat itu jeans mulai masuk dunia industri, ia diproduksi dan
diperdagangkan secara masif dan besar-besaran dengan beragam merek-mereknya.
Secara tak langsung, moment tersebut menandai pula mulai terkooptasinya celana jeans
oleh kapitalisme, dan tak pelak, celana jeans pun mulai mengalami pergeseran
makna aslinya. Di tangan industri, jeans menjadi gaya hidup, bahkan dia pula
yang mengundang muatan jarak sosial, ilusi usia terutama, jeans merupakan
identitas mereka yang berjiwa muda. Tak hanya sampai di situ, industri pun
menggenjot konsumerisme anak muda, memaksa mereka membeli setiap produk
terbarunya melalui iklan-iklan yang disebarkan secara masif di berbagai media
massa. Dari realitas tersebut, jelaslah filosofi jeans tidak lagi sebagai
“pakaian seumur hidup” melainkan celana seumur jagung. Kini, sejumlah uang
selalu siap kita gelontorkan tiap kali melihat celana jeans apik terpampang di
etalse-etalase toko.
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk mengembalikan kembali semangat kaum hippies bagi
pecinta Jeans, juga tidak bermaksud mendongkrak industri jeans karena saya
yakin ada tidaknya tulisan ini jeans akan tetap digemari. Terlepas dari itu
semua penulis melalui tulisan ini ingin mensupport kepercayaan diri
pecinta jeans untuk mengembalikan sisi-sisi positif dari filosofi kemunculan
jeans itu sendiri, dan pada akhirnya penulis berangan-angan esok hari muncul
sebuah fenomena yang menggetarkan, bahwa para pecinta jeans adalah identik
dengan orang-orang yang sholeh, rajin berjama’ah di masjid, jujur, ramah, penuh
karya dan sederet amal baik lainnya. Untuk menggambarkan orang-orang yang
sholeh dan taat tidak lagi terpaku pada mereka yang memakai celana bahan
(dasar), melainkan berbanding sejajar dengan mereka pecinta jeans. Karena
kesholihan dan ketakwaan bukan terletak pada pakaian lahir melainkan pada
bathin.
“Hai
anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang
paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan
Alloh, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A’raf:26).
Secara
umum ayat di atas menjelaskan tentang fungsi esensial dari pakaian yang
diwajibkan oleh Alloh SWT. terhadap seluruh Bani Adam yaitu untuk menutup
‘aurat yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang sehingga disimpulkan
oleh Al-Qurthubi bahwa ayat ini sekaligus merupakan perintah dan kewajiban
untuk berpakaian yang menutup ‘aurat. Selanjutnya melalui ayat ini juga Alloh
menetapkan pakaian taqwa yang merupakan sebaik-baik pakaian yang dikenakan oleh
setiap hambaNya. ‘Pakaian Takwa’ yang dimaksud ayat ini menurut para ulama
tafsir seperti yang terdapat dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azim yang dikutip
oleh Ibnu Katsir yang dimaksud dengan pakaian takwa adalah keimanan. Ada juga
yang menafsirkan sebagai amal sholih serta pakaian yang akan dipakai oleh para
ahli surga. Dari ketiga tafsir tersebut tidak ada yang bertentangan semua
saling berdekatan dan hakikatnya adalah pakaian mencerminkan kesholihan,
keimanan dan rasa takut kepada Alloh sebagaimana makna luas dari kata takwa itu
sendiri. Semoga bermanfaat.