Rabu, 04 Desember 2013

Sukses Membangun Hubungan dengan Pendekatan Kemiripan (Similarity Method)



Siapa pun Anda, apakah Anda seorang pemimpin sebuah perusahaan, apakah Anda adalah seorang pegawai biasa atau bawahan, seorang pendakwah, motivator, calon legislatif, dosen, mahasiswa, salesman, individu yang sedang membangun hubungan dan lain sebagainya tentu membutuhkan penerimaan dan penghargaan orang lain. Dengan kata lain siapa pun dari kita menginginkan agar dapat disenangi dan diterima oleh siapa saja dan kapan saja. Karena pada dasarnya keberhasilan kita terletak pada penerimaan dan dukungan orang lain.

Kesadaran akan kebutuhan penerimaan bahkan dukungan dari orang lain secara alamiah akan mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang diinginkan atau terlihat mirip dengan apa yang dilakkukan orang lain. Baik dengan mengunkapkan latarbelakang, pengalaman, pandangan hidup, visi misi, sikap, budaya, bahasa, perasaan, status sosial yang ditampilkan supaya terlihat mirip dengan orang lain.
Banyak kita jumpai praktik aktivitas di dunia nyata ketika seseorang ingin membangun hubungan dengan orang lain akan menggunakan pendekatan similarity dari orang yang dituju. Seperti misalnya pada saat seorang Pengusaha akan melakukan lobby, sebelumnya dia akan mencari tau informasi tentang kesukaan, pengalaman, atau informasi tentang kehidupan keluarga calon mitranya. Sehingga pada awal perbincangan dia akan membuka dengan perbincangan yang menyangkut kesukaan atau pengalaman calon mitra kemudian dia menanggapi bahwa kesukaan dan pengalaman calon mitra sama dengan kesukaan dan pengalamannya. Jika persamaan sudah terbingkai dalam perbincangan tersebut maka rasa saling percaya dan mendukung akan terbangun.
Pengalaman penulis sendiri pernah terlibat dalam sebuah tender penyelenggara acara (Event Organizer) yang berkaitan dengan kebudayaan Sumatera Selatan di Bandung. Sponsor utamanya adalah seorang pengusaha minyak yang berdarah Sumsel (tujuannya agar pada waktu acara dia bisa bertemu sekaligus bisa menjamu Gubernur). Singkatnya, meskipun konsep acara budaya yang diajukan oleh penulis dianggap bagus dan kreatif namun akhirnya ditolak ketika penulis tidak bersedia mendatangkan “wanita penghibur” yang diperuntukkan untuk menemani para tamu penting. Akhirnya acara tersebut jatuh ke EO lain (bukan backround orang Sumsel) yang menyanggupi menyediakan “wanita penghibur”. Pada akhirnya ternyata pada waktu acara sedikit sekali yang hadir dan tamu utama pun Gubernur Sumsel tidak mampu dihadirkan, sehingga acara hanyalah sebatas hura-hura dan maksiat.
Dari pengalaman di atas penulis mendapat pelajaran berharga bahwa kunci untuk berhasil dalam berhubungan dengan orang lain adalah bagaimana kita bisa terlihat bahkan menjadi benar-benar mirip dengan orang lain (namun tetap harus melihat sisi positif-negatifnya, halal-haramnya). Penulis memang sudah mengetahui bahwa Sang sponsor menyukai “wanita penghibur” sehingga jika penulis bertolak belakang dengan kesukaannya maka tidak akan mencapai kesepakatan. Begitu juga dengan Sang Sponsor karena tidak mengetahui latarbelakang para tamu undangan (yang tidak semuanya menyukai “wanita penghibur”) sehingga acara pun ditinggalkan.
Contoh lain adalah penelitian Buss (1985) menemukan bukti kuat bahwa pemilihan pasangan hidup didasarkan pada kemiripan. Misalnya para suami dan para isteri biasanya mirip dalam usia, pendidikan, latarbelakang etnik, seperti juga dalam ras, agama dan status sosio-ekonomi. Adapun berdasarkan psikologis seperti kemiripan sikap, pendapat dan pandangan dunia. Juga terdaapt kemiripan lain seperti kemampuan verbal yakni kecenderungan bertengkar, kejujuran, keterbukaan.
Pengamatan, penelitian, dan teori menyatakan bahwa kita menyukai orang-orang yang tampaknya mirip dengan kita. Lebih dari seratus tahun yang lalu Disraeli berkata, “Seorang yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan saya.” Seorang penulis kontemporer pun menyatakan, “Kita cenderung menyukai orang-orang yang mempunyai kepercayaan dan sikap yang sama seperti kita miliki, dan ketika kita menyukai seseorang, kita ingin ia mempunyai sikap seperti yang kita miliki” (Heider dalam Stewart, 2008:188). Di samping itu, kepribadian, gaya busana, tigkat sosio-ekonomi, agama, usia, status, dan sebagainya akan mempengaruhi perasaan kita terhadap orang lain. Kita cenderung menarik dan tertarik pada orang-orang yang seperti kita, dan sebaliknya, kita cenderung tidak menyukai dan tidak disukai orang-orang yang berbeda dengan kita.
Tampaknya semua orang akan sepakat dengan pernyataan Disraeli dan Heider yang mengatakan bahwa orang yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan kita dalam hal apa pun. Kita lebih menyukai orang yang mempunyai sikap sama seperti kita begitupun orang lain akan menyukai kita ketika kita mempunyai sikap yang sama dengan orang lain. Alih-alih akan dianggap sebagai seorang penjilat justru ini adalah kompetensi khusus yang tidak dimiliki semua orang dalam menyenangkan orang lain sehingga keberhasilannya dalam membangun hubungan yang berdampak juga pada keberhasilan karir, lobby, kenaikan gaji, memperoleh dukungan dan lain sebagainya adalah hadiah atas kemampuannya untuk menyenangkan orang lain.
Untuk para Calon Legislatif (Caleg)/Calon Kepala Daerah misalnya, pendekatan ini dinilai sebagai salah satu strategi untuk meraih dukungan konstituennya. Para kontestan harus menjadi apa yang diinginkan oleh konstituen baik dalam hal bersikap maupun mengampanyekan program. Misalnya saja, masyarakat dareah A menginginkan agar jalan raya di daerahnya bagus dan mulus. Maka tidak tepat jika spanduk kontestan menyampaikan pesan misalnya “Yang Muda Yang Berkaya” atau “Berjuang Untuk Kesejahteraan Rakyat”. Akan sangat berbeda dengan spanduk yang bertuliskan “Kesedihan Kita Sama dari Dulu Jalan tidak Pernah Bagus dan Mulus, Mari Kita Wujudkan Bersama” akan lebih berpengaruh dan mudah diingat daripada spanduk sebelumnya. Ini juga yang sering disebut sebagai pendekatan empati atau yang lebih mendalam disebut pendekatan neuro linguistic programe. Dan tentu saja untuk merasakan apa yang dirasakan masyarakat, mendengar apa yang didengar oleh masyarakat, melihat apa yang dilihat masyarakat dengan melalui riset atau survei terlebih dahulu, setelahnya barulah kita menjadi apa yang diinginkan oleh masyarakat. (Soal Riset IPO Institute ahlinya, contact me 082120177788) 
Namun selain faktor kemiripan yang disebut di atas, ada suatu pandangan mutakhir penelitian mengenai kemiripan adalah, “Kesadaran atas realitas bersama lebih penting daripada kemiripan itu sendiri. Juga, bukanlah kemiripan sikap, dan semua faktor lainnya yang penting, namun “Mengetahui” bahwa anda sangat mirip dalam makna yang anda berikan kepada hal-hal yang penting. Beberapa kajian lama dan baru menunjukkan pentinganya mengasumsikan kemiripan dalam hubungan, fakta bahwa pasangan-pasangan berpikir mereka lebih mirip daripada kemiripan yang sebenarnya, dan bahwa pengertian sering berjalan dengan kemiripan yang diperkirakan daripada kemiripan yang sebenarnya (Duck dan Barnes, 1992:206).”
Memahami bahwa realitas bahwa kita harus hidup secara bersama, memiliki pengertian terhadap makna raelitas yang kita anggap penting dan prioritas untuk diwujudkan secara bersama lebih penting dari kemiripan itu sendiri. Seorang suami isteri tidak akan bertengkar atau bercerai karena merasa sudah tidak ada kecocokan (kemiripan) lagi ketika dia memahami realitas yang lebih penting bahwa keluarga harus dilanjutkan sampai kapan pun untuk kebaikan bersama. Karen tujuan itualah sebetulnya kemiripan yang sesungguhnya.
Kita juga sering menemukan orang yang sepertinya keras kepala tidak mau diatur (atau jangan-jang kita sendiri) tidak mau mengalah ketika berpendapat sehingga orang seperti ini bisa dipastikan akan dihindari orang lain. Misalnya juga dalam sebuah perdebatan atau diskusi baik di kelas, forum resmi atau arisan, ada seseorang atau sekelompok yang kukuh terhadap pendapatnya dan tidak mau mengalah atau menerima pendapat orang lain sehingga dampaknya dia tidak akan disukai karena perbedaan pendapat dan idealismenya. Padahal sebetulnya hal ini tidak perlu terjadi jika kita menemukan titik temu yang dianggap sama dengan orang lain. 
Strategi ketika berdebat kita harus tetap harus terlihat sama dengan lawan bicara misalnya dengan mengatakan, “Saya sependapat, sama seperti pendapat Anda namun ada yang ingin saya tambahkan berdasarkan bla...bla...bla...dst” tentu lebih mudah diterima lawan bicara. Berbeda dengan misalnya, “Saya tidak sependapat dengan Anda, alasan Anda tidak ilmiah....bla...bla...bla...dst.” Sikap seperti ini tentu akan membuat lawan bicara merasa terpojokkan dan berusaha untuk membalas. Minimal jika hal di atas tidak bisa kita lakukan maka kita harus memberikan pengertian kepada lawan bicara bahwa kita dan lawan bicara adalah sama-sama teguh pendirian. Tetap harus menemukan persamaan. Semoga Bermanfaat.