Siapa
pun Anda, apakah Anda seorang pemimpin sebuah perusahaan, apakah Anda adalah
seorang pegawai biasa atau bawahan, seorang pendakwah, motivator, calon legislatif,
dosen, mahasiswa, salesman, individu yang sedang membangun hubungan dan lain
sebagainya tentu membutuhkan penerimaan dan penghargaan orang lain. Dengan kata
lain siapa pun dari kita menginginkan agar dapat disenangi dan diterima oleh
siapa saja dan kapan saja. Karena pada dasarnya keberhasilan kita terletak pada
penerimaan dan dukungan orang lain.
Kesadaran akan kebutuhan penerimaan bahkan dukungan dari orang lain secara alamiah akan mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang diinginkan atau terlihat mirip dengan apa yang dilakkukan orang lain. Baik dengan mengunkapkan latarbelakang, pengalaman, pandangan hidup, visi misi, sikap, budaya, bahasa, perasaan, status sosial yang ditampilkan supaya terlihat mirip dengan orang lain.
Banyak
kita jumpai praktik aktivitas di dunia nyata ketika seseorang ingin membangun
hubungan dengan orang lain akan menggunakan pendekatan similarity dari orang yang dituju. Seperti misalnya pada saat seorang
Pengusaha akan melakukan lobby,
sebelumnya dia akan mencari tau informasi tentang kesukaan, pengalaman, atau
informasi tentang kehidupan keluarga calon mitranya. Sehingga pada awal
perbincangan dia akan membuka dengan perbincangan yang menyangkut kesukaan atau
pengalaman calon mitra kemudian dia menanggapi bahwa kesukaan dan pengalaman
calon mitra sama dengan kesukaan dan pengalamannya. Jika persamaan sudah
terbingkai dalam perbincangan tersebut maka rasa saling percaya dan mendukung
akan terbangun.
Pengalaman
penulis sendiri pernah terlibat dalam sebuah tender penyelenggara acara (Event Organizer) yang berkaitan dengan
kebudayaan Sumatera Selatan di Bandung. Sponsor utamanya adalah seorang
pengusaha minyak yang berdarah Sumsel (tujuannya agar pada waktu acara dia bisa
bertemu sekaligus bisa menjamu Gubernur). Singkatnya, meskipun konsep acara
budaya yang diajukan oleh penulis dianggap bagus dan kreatif namun akhirnya ditolak
ketika penulis tidak bersedia mendatangkan “wanita penghibur” yang
diperuntukkan untuk menemani para tamu penting. Akhirnya acara tersebut jatuh
ke EO lain (bukan backround orang Sumsel) yang menyanggupi
menyediakan “wanita penghibur”. Pada akhirnya ternyata pada waktu acara sedikit
sekali yang hadir dan tamu utama pun Gubernur Sumsel tidak mampu dihadirkan,
sehingga acara hanyalah sebatas hura-hura dan maksiat.
Dari
pengalaman di atas penulis mendapat pelajaran berharga bahwa kunci untuk
berhasil dalam berhubungan dengan orang lain adalah bagaimana kita bisa
terlihat bahkan menjadi benar-benar mirip dengan orang lain (namun tetap harus
melihat sisi positif-negatifnya, halal-haramnya). Penulis memang sudah
mengetahui bahwa Sang sponsor
menyukai “wanita penghibur” sehingga jika penulis bertolak belakang dengan kesukaannya
maka tidak akan mencapai kesepakatan. Begitu juga dengan Sang Sponsor karena tidak mengetahui latarbelakang para tamu
undangan (yang tidak semuanya menyukai “wanita penghibur”) sehingga acara pun
ditinggalkan.
Contoh
lain adalah penelitian Buss (1985) menemukan bukti kuat bahwa pemilihan
pasangan hidup didasarkan pada kemiripan. Misalnya para suami dan para isteri
biasanya mirip dalam usia, pendidikan, latarbelakang etnik, seperti juga dalam
ras, agama dan status sosio-ekonomi. Adapun berdasarkan psikologis seperti
kemiripan sikap, pendapat dan pandangan dunia. Juga terdaapt kemiripan lain
seperti kemampuan verbal yakni kecenderungan bertengkar, kejujuran,
keterbukaan.
Pengamatan,
penelitian, dan teori menyatakan bahwa kita menyukai orang-orang yang tampaknya
mirip dengan kita. Lebih dari seratus tahun yang lalu Disraeli berkata, “Seorang
yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan saya.” Seorang penulis
kontemporer pun menyatakan, “Kita cenderung menyukai orang-orang yang mempunyai
kepercayaan dan sikap yang sama seperti kita miliki, dan ketika kita menyukai
seseorang, kita ingin ia mempunyai sikap seperti yang kita miliki” (Heider
dalam Stewart, 2008:188). Di samping itu, kepribadian, gaya busana, tigkat
sosio-ekonomi, agama, usia, status, dan sebagainya akan mempengaruhi perasaan
kita terhadap orang lain. Kita cenderung menarik dan tertarik pada orang-orang
yang seperti kita, dan sebaliknya, kita cenderung tidak menyukai dan tidak
disukai orang-orang yang berbeda dengan kita.
Tampaknya
semua orang akan sepakat dengan pernyataan Disraeli dan Heider yang mengatakan
bahwa orang yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan kita dalam hal
apa pun. Kita lebih menyukai orang yang mempunyai sikap sama seperti kita
begitupun orang lain akan menyukai kita ketika kita mempunyai sikap yang sama
dengan orang lain. Alih-alih akan dianggap sebagai seorang penjilat justru ini
adalah kompetensi khusus yang tidak dimiliki semua orang dalam menyenangkan
orang lain sehingga keberhasilannya dalam membangun hubungan yang berdampak
juga pada keberhasilan karir, lobby, kenaikan
gaji, memperoleh dukungan dan lain sebagainya adalah hadiah atas kemampuannya
untuk menyenangkan orang lain.
Untuk
para Calon Legislatif (Caleg)/Calon Kepala Daerah misalnya, pendekatan ini
dinilai sebagai salah satu strategi untuk meraih dukungan konstituennya. Para kontestan
harus menjadi apa yang diinginkan oleh konstituen baik dalam hal bersikap
maupun mengampanyekan program. Misalnya saja, masyarakat dareah A menginginkan
agar jalan raya di daerahnya bagus dan mulus. Maka tidak tepat jika spanduk
kontestan menyampaikan pesan misalnya “Yang Muda Yang Berkaya” atau “Berjuang
Untuk Kesejahteraan Rakyat”. Akan sangat berbeda dengan spanduk yang
bertuliskan “Kesedihan Kita Sama dari Dulu Jalan tidak Pernah Bagus dan Mulus,
Mari Kita Wujudkan Bersama” akan lebih berpengaruh dan mudah diingat daripada
spanduk sebelumnya. Ini juga yang sering disebut sebagai pendekatan empati atau
yang lebih mendalam disebut pendekatan neuro
linguistic programe. Dan tentu saja untuk merasakan apa yang dirasakan
masyarakat, mendengar apa yang didengar oleh masyarakat, melihat apa yang
dilihat masyarakat dengan melalui riset atau survei terlebih dahulu, setelahnya
barulah kita menjadi apa yang diinginkan oleh masyarakat. (Soal Riset IPO
Institute ahlinya, contact me 082120177788)
Namun
selain faktor kemiripan yang disebut di atas, ada suatu pandangan mutakhir
penelitian mengenai kemiripan adalah, “Kesadaran atas realitas bersama lebih
penting daripada kemiripan itu sendiri. Juga, bukanlah kemiripan sikap, dan
semua faktor lainnya yang penting, namun “Mengetahui” bahwa anda sangat mirip
dalam makna yang anda berikan kepada hal-hal yang penting. Beberapa kajian lama
dan baru menunjukkan pentinganya mengasumsikan kemiripan dalam hubungan, fakta
bahwa pasangan-pasangan berpikir mereka lebih mirip daripada kemiripan yang
sebenarnya, dan bahwa pengertian sering berjalan dengan kemiripan yang
diperkirakan daripada kemiripan yang sebenarnya (Duck dan Barnes, 1992:206).”
Memahami
bahwa realitas bahwa kita harus hidup secara bersama, memiliki pengertian
terhadap makna raelitas yang kita anggap penting dan prioritas untuk diwujudkan
secara bersama lebih penting dari kemiripan itu sendiri. Seorang suami isteri
tidak akan bertengkar atau bercerai karena merasa sudah tidak ada kecocokan (kemiripan)
lagi ketika dia memahami realitas yang lebih penting bahwa keluarga harus
dilanjutkan sampai kapan pun untuk kebaikan bersama. Karen tujuan itualah
sebetulnya kemiripan yang sesungguhnya.
Kita
juga sering menemukan orang yang sepertinya keras kepala tidak mau diatur (atau
jangan-jang kita sendiri) tidak mau mengalah ketika berpendapat sehingga orang
seperti ini bisa dipastikan akan dihindari orang lain. Misalnya juga dalam
sebuah perdebatan atau diskusi baik di kelas, forum resmi atau arisan, ada
seseorang atau sekelompok yang kukuh terhadap pendapatnya dan tidak mau
mengalah atau menerima pendapat orang lain sehingga dampaknya dia tidak akan
disukai karena perbedaan pendapat dan idealismenya. Padahal sebetulnya hal ini
tidak perlu terjadi jika kita menemukan titik temu yang dianggap sama dengan
orang lain.
Strategi
ketika berdebat kita harus tetap harus terlihat sama dengan lawan bicara
misalnya dengan mengatakan, “Saya sependapat, sama seperti pendapat Anda namun
ada yang ingin saya tambahkan berdasarkan bla...bla...bla...dst” tentu lebih mudah
diterima lawan bicara. Berbeda dengan misalnya, “Saya tidak sependapat dengan
Anda, alasan Anda tidak ilmiah....bla...bla...bla...dst.” Sikap seperti ini
tentu akan membuat lawan bicara merasa terpojokkan dan berusaha untuk membalas.
Minimal jika hal di atas tidak bisa kita lakukan maka kita harus memberikan
pengertian kepada lawan bicara bahwa kita dan lawan bicara adalah sama-sama
teguh pendirian. Tetap harus menemukan persamaan. Semoga Bermanfaat.