Selasa, 18 November 2014

Masa Depan Komunikasi Masa Depan Indonesia

Sebuah Epistemologi Komunikasi
Masa Depan Komunikasi, Masa Depan Indonesia. Adalah tema Konferensi Nasional Ilmu Komunikasi yang sedang berlangsung di Lombok 18-20 November 2014. Sayang belum ada kesempatan untuk hadir dan ikut serta memberikan sumbangsi dan kritik terhadap Ilmu Komunikasi dalam ajang yang sangat penting tersebut. Mudah-mudahan di lain kesempatan. Aamiin.
*****
Kita pada saat ini sedang berada dalam sebuah era peradaban manusia yang sangat maju. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang dengan segala kebaruan dan bentuk inovasinya. Kondisi yang mengubah cara manusia bekerja, berproduksi dan mengonsumsi berinteraksi atau bersosialisasi dengan kehidupan sosialnya atau bahkan mengubah cara beribadah (ritual).
Manusia berhutang budi pada ilmu pengetahuan yang sudah memberikan berbagai kemudahan dan manfaat untuk kehidupan.  Karena pada sisi aksiologisnya tentu ilmu pengetahuan haruslah mempunyai standar nilai dan kegunaan untuk manusia seperti, memberantas kebodohan, mengurangi kemiskinan, menciptakan keteraturan/ketertiban, menawarkan kebahagian untuk manusia. Itulah standar aspek aksiologi ilmu pengetahuan. Lalu pernyanyaannya adalah, apakah ilmu pengetahuan yang ada saat ini sudah memenuhi standar aksiologi tersebut? Saya jadi ingin mengungkapkan kembali kegalauan yang dirasakan oleh Albert Einstein bahwa seharusnya semakin berkembang ilmu pengetahuan maka manusia haruslah semakin bahagia, sejahtera dan semakin damai. Tapi Einstein tidak merasakan dampak ilmu pengetahuan seperti apa yang diharapkannya, melainkan sebaliknya.
Dengan sedikit pesimis namun tetap dibalut rasa optimistis, saya melihat kegalauan Einstein bisa kita saksikan dengan mata telanjang pada realita era ini. Semakin berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin memunculkan semangat manusia untuk meraih berbagai kemudahan dan kesenangan hidup. Sehingga, pada akhirnya budaya yang terbentuklah adalah budaya berlomba-lomba mengumpulkan segala materi yang bisa memberikan kemudahan dan kenikmatan. Akibatnya muncul iklim persaingan, rasa ingin mendahului satu sama lain, ingin mendominasi dan menguasai, rasa takut jika tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, memiliki ambisi yang tidak bisa dikontrol. Yang terpenting adalah faktor kemudahan dan kenikmatan bisa dikumpulkan. Pemandangan kota pun mulai menyakitkan mata dan menyulut emosi dengan kemacetan, hiruk pikuk aktivitas kantor yang membuat banyak orang depresi, belum lagi pergaulan bebas yang tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja, tapi juga terjadi di kalangan anak-anak dan dewasa bahkan kalangan orang tua, angka kriminalitas semakin bertambah.
Ada apa dengan ilmu pengetahuan? Kok bisa ilmu pengetahuan menggeser nilai-nilai yang dikandungnya? Apa yang salah dengan ilmu pengetahuan? Sepertinya ada satu sistem dari sistem besar kehidupan yang korslet. Mesti ditemukan benang merah untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang semakin parah. Lalu sistem apa yang yang dimaksud sebagai bagian dari sistem besar kehidupan? Benang merah apa yang sudah mulai terdeteksi?
Tidak bermaksud bersikap tendensi terhadap latar belakang ilmu pengetahuan saya, ini hanyalah postulat atau aksioma dasar yang menjadi tanggungjaab bersama untuk membuktikannya. Postulat tersebut menyebutkan bahwa bagian sistem besar atau benang merahnya adalah “Komunikasi” baik dalam teoritis maupun praktis. Komunikasi sudah bagi saya adalah bagian dari sistem besar kehidupan ini, jika tidak ada keseimbangan dalam sistem besar ini yang terjadi adalah ketidakseimbangan/ketidakteraturan kehidupan. Komunikasi adalah proses mengerti dan memahami dunia, mengerti dan memahami manusia, mengerti dan memahami lingkungan, mengerti dan memahami diri sendiri, mengerti dan memahami Tuhan. Proses sistem mengerti dan memahami ini yang selama ini ada gangguan (noise) dalam sistem besar kehidupan. Sistem ini yang harus ditanamkan kepada semua penduduk bumi.

Saya lebih suka menyebut sistem tersebut sebagai Global Communication System atau Universal Communication System. Bahwa sudah saatnya Ilmu Komunikasi menjadi a hold all civilization system yang bisa mewujudkan keteraturan atau ketertiban kehidupan. Secara teoritis Ilmu Komunikasi bukan hanya milik disiplinnya sendiri melainkan milik semua disiplin ilmu pengetahuan dan secara praktis ilmu komunikasi harus menjadi dasar dan pertimbangan setiap orang dalam mengambil keputusan untuk diri sendiri dan orang lain dengan membudayakan sikap untuk mengerti dan memahami. Komunikasi menjadi sebuah jawaban yang mampu mencerahkan kehidupan.

Senin, 18 Agustus 2014

Lomba Makan Kerupuk dalam Perspektif Budaya dan Agama

17 Agustus menjadi seleberasi tahunan yang diperingati bangsa Indonesia secara nasional atas keberhasilan para pejuang dan pendiri bangsa merebut kedaulatan tanah air dari tangan penjajah. Tujuh-Belasan memang membawa kegembiraan dan keceriaan di sebagian besar bangsa Indonesia yang kerap diistilahkan sebagai ajang “pesta rakyat” atau citizen party. Tak terkecuali mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua menikmati perayaan 17 Agustus.

Ada banyak aksi, atraksi dan ekspresi yang dilakukan dalam mengisi kemeriahan peringatan 17 Agustus 1945, mulai dari kegiatan perlombaan maupun parade budaya. Sebagai ajang untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan kreativitas masyarakat umum khususnya generasi muda tentu penyelenggaraan tersebut bernilai positif. Namun, jika penyelenggaraan “tujuh-belasan” tersebut diisi dengan kegiatan-kegiatan yang tidak mencerminkan kepribadian bangsa akan membawa masalah sendiri terutama dalam citra bangsa Indonesia yang bermartabat dan merdeka. 

Sebetulnya jika kita mau melakukan evaluasi dan kritik terhadap kebiasaan yang berkembang di masyarakat dari sejak dulu hingga sekarang ada begitu banyak tradisi yang sebetulnya jauh dari nilai-nilai ke-Indonesia-an. Karena masih dalam suasana kemeriahan peringatan 17 Agustus 1945 maka tulisan ini akan menyentuh seputar kegiatan-kegiatan perayaan HUT RI tersebut dan sedikit mencoba melucuti dengan perlahan tali yang mengikat kuat pada tradisi-tradisi yang tidak mencerminkan kemerdekaan Indonesia. 

Jika saya melempar pertanyaan kepada Anda, “Sebutkan satu saja Lomba yang paling banyak dilakukan di setiap tempat ketika memperingati 17 Agustus 1945?” Saya yakin rata-rata bahkan semua jawaban pertama adalah Lomba Makan Kerupuk. Jika tidak percaya silahkan buktikan sendiri. Lomba ini menjadi sangat pavorit di kalangan anak-anak apalagi (mohon maaf tanpa bermaksud merendahkan) banyak ditemui pesertanya adalah anak-anak yang kurang mampu. Lalu bagaimana kita melihat fenomena tersebut dalam kacamata budaya dan agama?

Perspektif Budaya
Menjadi tontonan menarik dan menghadirkan tawa bagi setiap yang menyaksikan susahnya peserta lomba dengan tangan diikat di belakang sambil loncat-loncat meraih kerupuk yang digantung sedikit lebih tinggi dari peserta. Sekali lagi ini hanyalah lomba, namun betapa lomba ini tidak manusiawi. Kita bisa menganalogikan dengan seorang majikan yang sedang memberi makan hewan berkaki empat (tidak etis untuk disebutkan), sepertinya tidak akan seru jika tidak ditarik ulur ke atas ke bawah makanan yang dipegang agar hewan tersebut melakukan aksi dan atraksi melompat tinggi. 

Menurut pakar budaya Murphy dan Hildebrant, budaya diartikan sebagai tipikal karakteristik perilaku dalam suatu kelompok. pengertian tersebut juga mengindikasikan bahwa segala bentuk kegiatan masyarakat atau kelompok merupakan tipikal dari kelompok tersebut. Dalam kacamata Semiotika Budaya pun memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap budaya kelompok yang ada memiliki makna dan akar yang kuat secara turun-temurun. Kita tentu sepakat jika Indonesia memiliki budaya yang luhur dan tinggi sebagai cerminanan masyarakat Indonesia yang juga berbudi pekerti yang luhur dan tinggi. Pribadi Indonesia adalah pribadi yang menentang segala bentuk perbudakan, penindasan dan penjarahan. Tapi bagaimana perbudakan itu hilang jika bangsa Indonesia juga yang menumbuh-suburkannya. Dan perbudakan tersebut kita tanamkan kepada generasi kita dengan tradisi-tradisi yang mencerminkan perbudakan seperti Lomba Makan Kerupuk. Bukankah kita adalah apa yang kita lakukan? 

Lalu, mengapa mesti Lomba Makan Kerupuk? Bukankah Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber alam? Bukankah begitu banyak kekayaan kuliner Indonesia yang harus kita lestarikan dan dikenalkan kepada dunia? Seandainya kita mau belajar dari negara-negara maju, mereka dengan bangga dan antusias menyelenggarakan festival lomba memasak masakan khas mereka yang bermutu tinggi. Sehingga dengan perlombaan tersebut mampu mengangkat derajat budaya mereka menjadi budaya yang tinggi. Alhasil, mampu menarik perhatian dunia untuk datang ke tempat mereka. Para wisatawan datang untuk memberikan apresiasi tinggi terhadap kebudayaan tersebut. Sementara di Indonesia, apa yang bisa diuntungkan dari Lomba Makan Kerupuk? Sekali lagi, tidak bermaksud merendahkan makanan yang memang renyah di lidah Indonesia. Akan tetapi, kita harus mengubah cara pandang agar mulai mengeksplorasi budaya-budaya yang bernilai tinggi secara makna dan tinggi secara seni untuk ditunjukkan kepada dunia dan untuk mendapatkan penghargaan dunia.

Perspektif Agama
Dalam konteks agama, agama apa pun itu, sudah barang tentu akan mengajarkan umatnya bagaimana cara memperlakukan makanan dengan baik sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rizki yang diberikan-Nya. Sehingga dalam penyajian makanan pun harus dengan cara yang etis, tidak boleh dilempar, tidak boleh digantung bahkan diletakkan di atas lantai. Dalam Islam sendiri, makanan bukan hanya sekedar asupan untuk terpenuhi energi dan gizi saja, namun yang terpenting adalah makan dapat menumbuhkan kecerdasan dan kesholehan. Itu sebabnya Islam memerintahkan kepada umatnya memakan makanan yang halal dan baik. Halal tentu saja dalam hal halal zatnya dan halal cara memperolehnya. Sementara baik adalah baik dalam etika memakan dan menyajikan makanan tersebut. Sehingga jika dua syarat itu terpenuhi maka manusia akan sehat, cerdas dan sholeh. 

Contoh etika makan dalam agama adalah dengan cara duduk, menggunakan tangan kanan yang bersih, dan membaca do’a sebagai ungkapan syukur dan agar diberkahi. Dalam Islam dan tidak menutup kemungkinan dalam agama lain melarang makan dengan cara berdiri apalagi sambil loncat-loncat, makan dengan tangan kiri, makan tanpa membaca do’a. Maka wajar jika banyak kita temui orang-orang yang kebutuhan gizi badannya terpenuhi dengan cukup namun kebutuhan gizi ruhiyyah/bathinnya kurang atau tidak terpenuhi. Inilah ajaran Rasul yang ditekankan kepada umat dalam hal makan-memakan yang mempunyai pengaruh besar untuk menumbuhkan kecerdasan dan kesholehan pribadi. Mungkin gerakan makan yg halal dan baik perlu digalakkan di negara ini, sehingga akan berdampak positif untuk memutus mata rantai koruptor, penjajah, penghianat negara ini. Karna pribadi masyarakat yang buruk bisa jadi disebabkan karena makanan yang haram atau buruk dan cara penyajian dan memakannya yang buruk.

Lomba Makan Kerupuk adalah hanyalah salah satu bentuk perayaan hari kemerdekaan yang perlu dievaluasi di negeri ini. Masih banyak bentuk-bentuk kegiatan lain yang tidak mencerminkan ke-Indonesia-an. Alhasil, alih-alih untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa melainkan menjatuhkan harkat dan martabat bangsa yang kita cintai ini. Hanya dengan memiliki tradisi yang bernilai tinggi bangsa ini akan memiliki martabat yang tinggi di mata dunia. (*aam)