17
Agustus menjadi seleberasi tahunan yang diperingati bangsa Indonesia secara
nasional atas keberhasilan para pejuang dan pendiri bangsa merebut kedaulatan tanah
air dari tangan penjajah. Tujuh-Belasan memang membawa kegembiraan dan
keceriaan di sebagian besar bangsa Indonesia yang kerap diistilahkan sebagai ajang
“pesta rakyat” atau citizen party.
Tak terkecuali mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua menikmati perayaan
17 Agustus.
Ada
banyak aksi, atraksi dan ekspresi yang dilakukan dalam mengisi kemeriahan
peringatan 17 Agustus 1945, mulai dari kegiatan perlombaan maupun parade budaya.
Sebagai ajang untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan kreativitas masyarakat umum
khususnya generasi muda tentu penyelenggaraan tersebut bernilai positif. Namun,
jika penyelenggaraan “tujuh-belasan” tersebut diisi dengan kegiatan-kegiatan
yang tidak mencerminkan kepribadian bangsa akan membawa masalah sendiri
terutama dalam citra bangsa Indonesia yang bermartabat dan merdeka.
Sebetulnya
jika kita mau melakukan evaluasi dan kritik terhadap kebiasaan yang berkembang
di masyarakat dari sejak dulu hingga sekarang ada begitu banyak tradisi yang
sebetulnya jauh dari nilai-nilai ke-Indonesia-an. Karena masih dalam suasana
kemeriahan peringatan 17 Agustus 1945 maka tulisan ini akan menyentuh seputar
kegiatan-kegiatan perayaan HUT RI tersebut dan sedikit mencoba melucuti dengan
perlahan tali yang mengikat kuat pada tradisi-tradisi yang tidak mencerminkan
kemerdekaan Indonesia.
Jika
saya melempar pertanyaan kepada Anda, “Sebutkan satu saja Lomba yang paling
banyak dilakukan di setiap tempat ketika memperingati 17 Agustus 1945?” Saya
yakin rata-rata bahkan semua jawaban pertama adalah Lomba Makan Kerupuk. Jika tidak percaya silahkan buktikan sendiri.
Lomba ini menjadi sangat pavorit di kalangan anak-anak apalagi (mohon maaf
tanpa bermaksud merendahkan) banyak ditemui pesertanya adalah anak-anak yang
kurang mampu. Lalu bagaimana kita melihat fenomena tersebut dalam kacamata
budaya dan agama?
Perspektif Budaya
Menjadi
tontonan menarik dan menghadirkan tawa bagi setiap yang menyaksikan susahnya
peserta lomba dengan tangan diikat di belakang sambil loncat-loncat meraih kerupuk yang digantung sedikit lebih tinggi
dari peserta. Sekali lagi ini hanyalah lomba, namun betapa lomba ini tidak
manusiawi. Kita bisa menganalogikan dengan seorang majikan yang sedang memberi
makan hewan berkaki empat (tidak etis untuk disebutkan), sepertinya tidak akan
seru jika tidak ditarik ulur ke atas ke bawah makanan yang dipegang agar hewan
tersebut melakukan aksi dan atraksi melompat tinggi.
Menurut
pakar budaya Murphy dan Hildebrant, budaya diartikan sebagai tipikal
karakteristik perilaku dalam suatu kelompok. pengertian tersebut juga
mengindikasikan bahwa segala bentuk kegiatan masyarakat atau kelompok merupakan
tipikal dari kelompok tersebut. Dalam kacamata Semiotika Budaya pun memberikan
penjelasan kepada kita bahwa setiap budaya kelompok yang ada memiliki makna dan
akar yang kuat secara turun-temurun. Kita tentu sepakat jika Indonesia memiliki
budaya yang luhur dan tinggi sebagai cerminanan masyarakat Indonesia yang juga
berbudi pekerti yang luhur dan tinggi. Pribadi Indonesia adalah pribadi yang
menentang segala bentuk perbudakan, penindasan dan penjarahan. Tapi bagaimana
perbudakan itu hilang jika bangsa Indonesia juga yang menumbuh-suburkannya. Dan
perbudakan tersebut kita tanamkan kepada generasi kita dengan tradisi-tradisi
yang mencerminkan perbudakan seperti Lomba
Makan Kerupuk. Bukankah kita adalah apa yang kita lakukan?
Lalu,
mengapa mesti Lomba Makan Kerupuk?
Bukankah Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber alam? Bukankah begitu
banyak kekayaan kuliner Indonesia yang harus kita lestarikan dan dikenalkan
kepada dunia? Seandainya kita mau belajar dari negara-negara maju, mereka
dengan bangga dan antusias menyelenggarakan festival lomba memasak masakan khas
mereka yang bermutu tinggi. Sehingga dengan perlombaan tersebut mampu
mengangkat derajat budaya mereka menjadi budaya yang tinggi. Alhasil, mampu
menarik perhatian dunia untuk datang ke tempat mereka. Para wisatawan datang
untuk memberikan apresiasi tinggi terhadap kebudayaan tersebut. Sementara di
Indonesia, apa yang bisa diuntungkan dari Lomba
Makan Kerupuk? Sekali lagi, tidak bermaksud merendahkan makanan yang memang
renyah di lidah Indonesia. Akan
tetapi, kita harus mengubah cara pandang agar mulai mengeksplorasi
budaya-budaya yang bernilai tinggi secara makna dan tinggi secara seni untuk
ditunjukkan kepada dunia dan untuk mendapatkan penghargaan dunia.
Perspektif Agama
Dalam
konteks agama, agama apa pun itu, sudah barang tentu akan mengajarkan umatnya
bagaimana cara memperlakukan makanan dengan baik sebagai bentuk ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan atas rizki yang diberikan-Nya. Sehingga dalam penyajian
makanan pun harus dengan cara yang etis, tidak boleh dilempar, tidak boleh
digantung bahkan diletakkan di atas lantai. Dalam Islam sendiri, makanan bukan
hanya sekedar asupan untuk terpenuhi energi dan gizi saja, namun yang
terpenting adalah makan dapat menumbuhkan kecerdasan dan kesholehan. Itu sebabnya
Islam memerintahkan kepada umatnya memakan makanan yang halal dan baik. Halal
tentu saja dalam hal halal zatnya dan halal cara memperolehnya. Sementara baik
adalah baik dalam etika memakan dan menyajikan makanan tersebut. Sehingga jika
dua syarat itu terpenuhi maka manusia akan sehat, cerdas dan sholeh.
Contoh
etika makan dalam agama adalah dengan cara duduk, menggunakan tangan kanan yang
bersih, dan membaca do’a sebagai ungkapan syukur dan agar diberkahi. Dalam Islam
dan tidak menutup kemungkinan dalam agama lain melarang makan dengan cara berdiri
apalagi sambil loncat-loncat, makan
dengan tangan kiri, makan tanpa membaca do’a. Maka wajar jika banyak kita temui
orang-orang yang kebutuhan gizi badannya terpenuhi dengan cukup namun kebutuhan
gizi ruhiyyah/bathinnya kurang atau tidak terpenuhi. Inilah ajaran Rasul yang
ditekankan kepada umat dalam hal makan-memakan
yang mempunyai pengaruh besar untuk menumbuhkan kecerdasan dan kesholehan
pribadi. Mungkin gerakan makan yg halal dan baik perlu digalakkan di negara
ini, sehingga akan berdampak positif untuk memutus mata rantai koruptor, penjajah,
penghianat negara ini. Karna pribadi masyarakat yang buruk bisa jadi disebabkan
karena makanan yang haram atau buruk dan cara penyajian dan memakannya yang
buruk.
Lomba
Makan Kerupuk adalah hanyalah salah
satu bentuk perayaan hari kemerdekaan yang perlu dievaluasi di negeri ini.
Masih banyak bentuk-bentuk kegiatan lain yang tidak mencerminkan ke-Indonesia-an. Alhasil, alih-alih
untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa melainkan menjatuhkan harkat dan
martabat bangsa yang kita cintai ini. Hanya dengan memiliki tradisi yang
bernilai tinggi bangsa ini akan memiliki martabat yang tinggi di mata dunia. (*aam)