Minggu, 25 November 2012

PAKAIAN DAN MAKNA SIMBOLIK



Pakaian awalnya dirancang sebagai cara melindungi diri dari dingin dan unsur-unsur. Sejak bahwa pakaian periode waktu telah berkembang tidak hanya menjadi perpanjangan dari kepribadian kita, tetapi sebagai simbol status mana yang lebih baik dari individu mana mengenakan kain halus dan perhiasan daripada miskin. Hari ini, sementara pakaian yang masih digunakan sebagai simbol status, lebih mudah untuk menciptakan penampilan yang statusnya lebih tinggi dengan menggunakan pakaian yang Anda kenakan untuk menonjolkan tubuh Anda dengan cara yang mencerminkan orang-orang yang statusnya lebih tinggi.
Cara berpakaian, berdandan, dan penampilan fisik seringkali menjadi dasar bagi kesan pertama, yang relatif bertahan lama, bahkan kaca mata dapat mempengaruhi persepsi orang lain terhadap pemakain.
Baju seragam memberi informasi tentang tingkat dan status orang kepada kita; banyak orang percaya bahwa pakaian dan cara berpakaian juga menunjukkan hal yang sama. Dalam beberapa penelitian, orang-orang yang menerima bantuan yang lebih besar atau permohonannya lebih mudah dikabulkan (misalnya, untuk mendatangi petisi) bila mereka berpakaian resmi atau rapih daripada bila mereka berpakaian biasa atau serampangan. Satu penelitian tentang janggut menemukan bahwa menurut wanita, pria berjanggut lebih menarik, “memiliki status lebih baik” dalam pandangan pria lainnya, dan janggutnya ini menciptakan jarak sosial yang lebih besar antara ia dengan pria lainnya yang tidak berjanggut.
Kadang-kadang kita berpakaian agar mengesankan bagi orang lain, agar lebih menyerupai mereka, atau—bila kita mengenakan pakaian yang berlawanan dengan norma yang dianut sekelompok orang –untuk mengekspresikan penolakan kita atas nilai-nilai mereka.
Penelitian tentang hubungan antara pakaian dan kepribadian membuktikan bahwa bila anda amat memperhatikan cara anda berpakaian, anda cenderung mengalah dan gelisah; bila anda relatif kurang memperhatikan pakaian anda, mungkin anda seorang pribadi yang agresif dan mandiri (Rosenfeld dan Plax, 1977). (Hasil penelitian ini berlaku untuk pria dan wanita) Melalui baju yang kita pakai, kita sering mengkomunikasikan kepatuhan atau ketidakpatuhan kita atas nilai-nilai tradisional. Pada umumnya, orang-orang akan menerima cara berpakaian yang amat tidak biasa bila pemakainya adalah orang kaya atau orang terkenal. Sebenarnya, orang-orang  sering mengharapkan para seniman dan penghibur mengenakan pakaian yang tidak biasa. Misalnya, kita tidak mengharapkan melihat rsambut Tina Turner ditata seperti duri landak, roknya pendek, dan sepatunya bertumit super tinggi.
Pakaian yang parlente, yang mahal, bagsaimanapun juga kadang-kadang menunjukkan suatu jurang komunikasi. Misalnya, kita tidak mengharapkan seorang politikus tampil mengenakan pakaian sangat resmi ketika ia berpidato di hadapan para warga disekitarnya.
Kajian tentang bagaimana kita memilih dan memanfaatkan objek fisik dalam komunikasi nonverbal disebut objektika (objectics). Objektika menyangkut semua objek fisik, mulai dari baju yang kita kenakan sampai makanan yang kita sajikan.
Kita tentu ingat dengan Founding Father banga Soekarno, sejak memulai aktivitas pergerakan hingga menjadi presiden, sangat memperhatikan penampilan, terutama soal berpakaian. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dikalangan pergerakan saat itu, Soekarno merupakan salah satu yang mempunyai ciri khas dalam berpakaian, dan kelak diikuti oleh kalangan pergerakan lainnya.
Bagi sebagian kita berbusana mungkin lebih ditujukan kepada memenuhi etika kesopana. Tolok ukur kita adalah sopankah busana yang saya pakai ? Namun hal ini tidak berlaku bagi Putera Sang Fajar. Dimata Bung Karno busana bukan hanya tuntutan sebuah kesopanan tetapi lebih jauh dari itu dalam busana dan cara menggunakannya banyak mengandung nilai seni.
Dalam berbusana Bung Karno sangat teliti, baik warna, model sampai pada bahan yang akan digunakan. Dan dalam kerapian serta keserasian berbusana perhatian Bung Karno bukan hanya pada busana yang ia gunakan, tetapi juga orang-orang disekelilingnya.
Saat itu, Bung Karno menyusun sendiri bentuk seragamnya selaku presiden, sebuah perpaduan antara seragam militer dan pejuang sipil (rakyat). Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sedang tanda kepresidenan (bintang bersudut lima dalam lingkaran) disemakkan di kedua kelepak. Tidak ketinggalan pula, kopiah hitam yang sedikit miring ke kiri.



FUNGSI PESAN NONVERBAL

Mark L. Knapp dalam W. Syam (2011:134) telah menyebut 5 (lima) fungsi pesan nonverbal, yaitu:
1.      Repetisi, mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan alasan penolakan saya, saya menggelengkan kepala berkali-kali
2.      Substitusi, menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa sepatah kata pun anda berbicara, anda dapat menunjukkan persetujuan dengan menganggukkan kepala
3.      Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberikan makna lain terhadap pesan verbal. Misalnya, anda memuji prestasi kawan anda dengan mencibirkan bibir anda “Hebat, kau memang hebat”
4.      Komplemen, melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata
5.      Aksentuasi, menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul mimbar.
Knapp membahas fungsi pesan nonverbal dalam hubungannya dengan pesan verbal. Adapun yang penting kita ketahui adalah tinjauan psikologis terhadap peranan pesan nonverbal dalam perilaku komunikasi. Sejauh mana pesan nonverbal melancarkan atau menghambat efektivitas komunikasi?
Dale G. Leathers masih dalam W. Syams (2011:134), menyebutkan enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting, yakni:
1.      Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran lewat pesan-pesan nonverbal.
2.      Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Menurut Mehrabian (1967), hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomuniksikan dengan kata-kata. Sebaliknya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan lewat ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya).
3.      Pesan nonverbal menympaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Kita semua lebih jujur berkomunikasi melalui pesan nonverbal ketimbang pesan verbal. Dalam situasi komunikasi yang disebut double binding ketika pesan nonverbal bertentangan dengan pesan verbal orang bersandar pada pesan nonverbal.
4.      Pesan nonverbal memiliki fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. Telah kita ketahui bahwa pesan nonverbal memiliki fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan aksentuasi. Semua ini menambah kadar informasi dalam penyampaian pesan.
5.      Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redudansi (lebih banyak lambang yang diperlukan), repetisi ambiguity (kata-kata yang berarti ganda), dan abstraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan pikiran kita secara verbal daripada secara nonverbal.

Pesan Artifaktual
            Pesan artifsaktual adalah pesan nonverval yang diungkapakan melalui penampilan (performance) tubuh, pakaian dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita untuk membentuk citra tubuh dengan pakaian dan kosmetik.
            Kefgen dan Touchie dalam Rakhmat (2005:292) menyatakan, “Pakaaian menyampaikan pesan. Pakaian terlihat sebelum suara terdengar. Pakaian tertentu berhubungan dengan perilaku tertentu.” Umumnya pakaian kita pergunakan untuk menyampaikan identitas kita, untuk mengungkapkan kepada orang lain siapa kita. Menyampaikan identitas berarti menunjukkan kepada orang lain bagaimana perilaku kita dan bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Selain itu pakaian dipakai untuk menyampaikan perasaan (seperti blus hitam ketika wanita berduka cita, atau pakaian yang semarak ketika kitsa ceria), status dan peranan (seperti seragam kantor), dan formalitas (seperti memakai sandal untuk menunjukkan situasi informal dan memakai batik untuk situasi formal).
Banyak pesan nonverbal dikomunikasikan melaui cara berpakaian dan artifak-artifak lain. Perhiasan, tata-rias wajah, kancing, alat tulis yang digunakan, mobil yang dikendarai, rumah yang diami, perabot rumah yang dimiliki serta cara penataannya, besar dan lokasi kantor, dan, nyatanya, hampir setiap benda yang berkaitan dengan manusia juga mengkomunikasikan makna. Arloji Rolex dan Timex keduanya mungkin memberikan informasi tentang waktu yang sama dan benar, tetapi keduanya mengkomunikasikan hal yang berbeda tentang pemakainya
            Pakaian merupakan bagian kesatuan yang tidak terlepas dalam kehidupan sosial. Pada dimensi personal, pakaian menjadi media untuk mengeksitensikan ekspresi dan gagasan yang terkadang muncul dalam ben­tuk yang serba abstrak. Melalui dimensi sosial kultural, pakai­an dijadikan sebagai media komunikasi, promosi, bahkan pembentukan ideologi. Berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sosial, dapat diref­lek­sikan melalui produk-produk pakaian, sehingga formulasi komunikasi antara pengguna, penikmat, dan pencipta pakaian terbentuk secara sistematis. Produk pakaian sebagai perwujudan visual produk kebudayaan, seringkali dijadi­kan penanda dan identitas sosial pada komunitas sosial. Simbol-simbol diskriminasi, pemujaan, penokohan, dan penghujatan muncul seiring dengan berpu­tar­nya produk pakaian. Diskur­sus pada pakaian, bukanlah perkara sederhana dalam kon­teks sosial kultural; agama, moral, etika, dan seni. Tulisan ini, dalam keterbatasannya, dengan sudut pandang semio­tika, komunikasi, estetika, dan agama, menguraikan dimensi sosial kultural pada gaya berpakaian.
Pakaian pada wilayah pem­bentukan ideologi personal atau komunitas, merupakan dimensi bergaya. Tatanan dan tuntunan bergaya inilah yang sering ditafsirkan sebagai usaha meng­eks­presikan keinginan dan pengakuan identitas pada konteks kehidupan sosial. Ekpresi yang tidak terkendali dalam bergaya (membuat dan memakai gaya tertentu), men­do­rong pada beberapa personal untuk memberikan batasan-batasan pakaian yang “nyaman” atau tidak, “layak” atau tidak, untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai, minimal ko­munitas sosialnya. Batasan gaya berpakaian inilah, yang sering kali dilihat sebagai “ketidak­wajaran” untuk diterima dan ditempatkan pada kultur ter­tentu. Pertentangan dan pertau­tan yang dihubungkan dengan nilai agama, moral, dan etika dalam menyikapi produk seni (pakaian) muncul secara bera­gam. Pada sisi lain, terjadinya distorsi makna pakaian sebagai kebutuhan pokok, menjadi pakaian sebagai kebutuhan mewah untuk bergaya. Tentu, tidak dengan segera pakaian dipermasalahkan sebagai sum­ber kerumitan tersebut, ada peran media (iklan), industri (pencipta), komunitas (pemakai dan pencipta), serta lembaga sosial (pemerintah dan alat-alatnya) yang membentuk perputaran pakaian menjadi produk yang “mengatur” peng­gunanya.
Pada dimensi lain, konteks “nyaman” memiliki batasan berbeda bagi setiap personal. Konteks kenyamanan inilah yang membuat terjadinya per­de­batan dan silang pendapat, jika dilihat dari sudut pandang keilmuan yang berbeda. Lan­dasan berpikir berbeda yang menentukan norma dan kaidah berpakaian menjadi tidak sama, berlaku pada personal, ko­munitas, mau pun pihak in­dustri. Gaya berpakaian meru­pakan milik “personal” yang saling berkorelasi pada lingku­ngan politik, sosial, dan kultu­ral. Beragam ideologi terbung­kus oleh tema atau isu, melekat pada sehelai pakaian, bertujuan personal, komunitas, dan industri. Konteks nyaman memberikan label dan identitas seseorang pada tatanan sosial, sehingga pengidentifikasian dipandang sebagai upaya “me­le­galkan” kesenangan bergaya. Atas dasar kesenangan ini juga, memunculkan persoalan berkai­tan simbol pembebasan diri dalam bergaya melalui pakaian (produk seni).
Pakaian yang Beragama atau Bergaya
Terjadinya revolusi Iran, merupakan titik penting terja­dinya perubahan gaya berbu­sana agamis. Pada era sebelum revolusi Iran atau yang dikenal sebagai revolusi Islam, (1) pakaian agamis dan tren jilbab, belum terlalu diakui sebagai bagian media yang digunakan untuk bergaya. Revolusi yang ditandai berakhirnya rezim penguasa Mohammad Reza Pahlavi, serta menjadi revolusi terbesar ketiga dalam sejarah dunia, memiliki arti penting pada sejarah berpakaian agamis. Kemenangan ini, selain diraya­kan dengan gaya pakaian, juga melalui musik dan film, yang secara perlahan bertemakan Islam.
Peristiwa kemenangan ini juga dirayakan di Indonesia, dimulai pada saat revolusi Iran di tahun 1979, dan tahun-tahun selanjutnya, bergaya muslim dalam kehidupan sosial menja­di semacam tren. Pengakuan identitas keagamaan, yang divisualkan melalui busana, lagu, dan film, menjadi marak. Pentas busana, baik dalam kemasan pagelaran, mau pun merefleksi dalam kehidupan sosial sehari-hari, menjadi lahan industri yang berpotensi secara ekonomis dan menjadi lahan pembauran nilai-nilai kultural. Pakaian pada ranah kultural dan agama, memiliki spesifikasi dimensi sendiri-sendiri. Manu­sia sebagai bagian dari sistem kebudayaan, dan sebagai penun­juk penting kedinamisannya, menjadikan pakaian dalam bentuk yang berbaur dengan agama. Antara minat pada budaya berbusana (tren busana) dan menjalankan aturan atau hukum berbusana, hampir tidak ada perbedaan.
Berjilbab merupakan pili­han personal, yang dilandasi beragam alasan, diantaranya adalah faktor keinginan diri sendiri, tuntunan Alqur’an, alasan kenyamanan, dan mem­be­dakan dengan perempuan lainnya. (2) Sebagai pilihan kultural, berjilbab muncul dalam kancah persilangan dari beberapa faktor yang disinggung sebelumnya. Usaha untuk membedakan dengan perem­puan lain, merupakan wacana yang menunjukkan identitas pada konteks waktu dan tem­pat tertentu. Ini adalah bergaya.
Turut serta dalam tren jilbab merupakan bagian penting dalam pembudayaan jilbab pada kehidupan sosio-kultural. Jilbab dalam kancah kultur Islam mengalami distorsi pemaknaan, akibatnya terjadi “seragamisasi” penggunaan jilbab, modifikasi jilbab, dan menciptakan beragam timbal balik komunikasi di dalamnya.
Jilbab tidak dapat dijadikan sebagai penanda ketaatan atau ketaqwaan seseorang; bukan soal jilbab besar atau jilbab kecil, bahkan pada seseorang berjilbab atau pun tidak. Ideologi jilbab secara langsung bukan hanya untuk menun­jukkan tentang ketaqwaan, ada konstruksi (makna lain) yang terbangun didalamnya, sebagai tren, kebudayaan, identitas, alat berkomunikasi, dan ada peran budaya media massa. Dalam rumusan Madan Sarup, wacana posmodern bercirikan sesuatu yang bernilai kekinian, dapat berwujud suatu bentuk baru dari ketekstualan; gejala gang­guan kejiwaan yang ditampilkan masyarakat, dan tidak bersifat alamiah, melainkan dibuat oleh kapitalisme global. (3) Jilbab yang dipandang sebagai produk masa kini, merupakan produk nyata wilayah posmodern, bernilai kekinian, bentuk baru dalam pencitraan, dan ada pengkondisian “kecintaan” terhadap jilbab (penciptaan tren/tidak alamiah). Nilai kekinian dan bentuk baru yang dibicarakan posmodernisme merupakan bagian penting dalam memilah sifat alamiah seseorang untuk berjilbab (sesuai tuntunan), atau tercipta atas kepentingan (tren dan industri).
Munculnya klasifikasi pada jilbab, merupakan bukti nyata peran industri terhadapnya. Istilah jilbab besar, jilbab kecil, atau pun jilbab gaul, adalah ranah persoalan dimana nya­man dan tidak menggunakan jilbab. Jilbab sebagai salah satu produk kebudayaan, menjadi bukti nyata terjadinya kontro­versi terhadap kebijakan dan kewajiban menggunakannya dalam konteks hukum pada masyarakat sosial dan pendidi­kan. Seragamisasi jilbab pada kontek waktu dan tempat tertentu, perlu mendapatkan perhatian dan pembahasan secara mendalam, karena jilbab adalah “milik” kelompok muslim, jilbab merupakan “milik” orang-orang yang secara hati nurani dan sadar menggunakan sesuai tuntunan; tidak dapat digeneralisasikan dalah hal apa pun. Jika terjadi pertentangan atas memaksakan “milik” dan cara mengap­likasikannya, sudah terjadi apa yang diistilahkan oleh Sarup, sebagai sesuatu yang dibuat-buat. Ini masuk pada konteks “bergaya” tersebut.
Pakaian dalam Persoalan Moral dan Etika
Pakaian yang bermoral tidak selalu berkarakter tertu­tup, bersifat longgar, dan serba panjang. Ketat atau pun longgar bukan ukuran untuk menentu­kan sifat erotisme pada sehelai pakaian, ada karakter tertentu yang dijadikan sebagai sumber permasalahan. Konstruksi sosial terhadap pemahaman pornogra­fi adalah sifat pakaian yang serba terbuka, tidak menutup aurat. (4) Persoalan pakaian dan aurat seharusnya tidak dijadikan sebagai sumber utama terjadinya pelecehan seksual dan pemerkosaan terha­dap kaum perempuan. Hal syahwat tidak selalu terhubung dengan pakaian minim, ketat, atau pun bersifat terbuka. Kenyamanan seseoarang untuk menggunakan jenis pakaian tertentu, tidak dapat dikatakan sebagai sumber permasalahan. Akan tetapi, lebih pada kebob­rokan moral dan etika orang yang melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan. Ada nilai-nilai akidah, moral, etika, dan kemampuan mengenda­likan diri pada setiap manusia, yang seharusnya menjadi pe­ngon­trol terhadap nafsunya. Perbedaan budaya berpakaian, sekaligus batasan “nyaman” dalam konteks beberapa agama di Indonesia, bukanlah indika­tor yang menentukan terjadinya pemerkosaan. Dengan kata lain, tidak ada kewajaran dan kelumrahan terhadap gaya berpakaian ketat dan minim, yang menjadi faktor utama atas pelecehan seksual.
Undang-undang tentang Pornografi merupakan alat dan perwujudan hukum yang dicip­takan oleh pemerintah dalam mengatur seseorang untuk berpakaian dan bertindak. Undang-undang ini mengisya­ratkan perihal batasan-batasan masyarakat untuk berpakaian secara layak atau tidak, terbuka atau tertutup, bahkan pakaian yang sopan atau tidak.
Undang-undang pornografi, dimaksudkan untuk memini­malkan gaya pakaian yang berbau erotis, minimalis, dan berkarakter terbuka. Ada persoalan nilai moral dan etika yang hendak disampaikan dalam undang-undang ini. Moral dan etika merupakan sebuah ideologi yang terkan­dung, dalam upaya mengatur “ketertiban” masyarakat sosial dalam berpakaian, sehingga selain sebagai benda pakai, ia menjadi sebuah sistem pere­dam segala fitnah karena penggunaan bahan pakaian yang tipis. (5) Terlepas dari segala kekurangan dan kon­troversi berlakunya undang-undang pornografi, (6) tidak dimaksudkan untuk membuat dikotomi dan diskriminasi terhadap pakaian adat istiadat suatu daerah, atau pun cara berpakaian pada agama tertentu, tetapi lebih menyikapi nilai-nilai hakiki yang melekat pada pakaian.
Pakaian dan Ekspresi Seni
Pakaian sering dianggap sebagai sebuah topeng untuk memanipulasi tubuh, sebagai cara untuk membangun dan menciptakan citra diri. (7) Pakaian berfungsi tidak saja membalut tubuh untuk keha­ngatan, kesederhanaan atau kenyamanan. Kode pakaian adalah perangkat teknis yang mengartikulasikan hubungan antara tubuh tertentu dan lingkungan hidup, ruang yang ditempati oleh badan dan didasari oleh tindakan tubuh. Dengan kata lain, pakaian membangun habitus pribadi, (8) sebagai sebuah perangkat penting untuk berkomunikasi dengan lingkungannya; pakaian dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi tertentu. Peran penting seseorang pencipta atau desainer pakaian, mempe­ngaruhi identitas pakaian, sekaligus citra tubuh penggu­nanya.
Kondisi ekonomi dan pasar tidak selalu jadi referensi utama dalam seorang desainer menciptakan pakaian, tetapi memiliki posisi yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Munculnya istilah tren, adalah menunjuk seberapa minat konsumen terhadap mode pakaian tertentu, dalam konteks ekonomi, ini menjelaskan seberapa laku mode tersebut dipasaran. Tren ini juga yang memilah pakaian berdasarkan pada bahan, warna, dan harga, bahkan lebih luas menunjuk ideologi, negara, dan siapa yang mencipta pakaian.
Pada sehelai pakaian terda­pat ekspresi, keinginan, pesan, atau pun nasihat yang hendak dikomunikasikan oleh desainer. Nilai ekspresi tidak terbatas pada ide dan cara mengko­munikasikan, termasuk pada media yang digunakan. Eksp­resi, persoalan ini masuk pada ranah personal dan mutlak milik seseorang yang mencipta suatu produk seni, termasuk pakaian. Kreativitas berkesenian merupakan wilayah yang tidak dapat diintervensi oleh siapa­pun, kecuali mencipta suatu pakaian karena menjawab kebutuhan tren. Kebebasan dalam mencipta inilah terka­dang dianggap kelompok ter­ten­tu, sebagai ekspresi seni yang tidak bermoral, tidak sesuai dengan adat bangsa, atau sering tidak sepaham dengan kondisi nilai filosofi dan kultur suatu ruang. Untuk kepentingan bergaya, karya seni (pakaian) dimungkinkan saling beradap­tasi pada kondisi sosial kultu­ral pada wilayah tertentu, sehingga benturan dan silang pendapat, sebagai akibat per­bedaan latar belakang kebu­dayaan dan cara memaknai, dapat diminimalkan. Karena sehelai pakaian bersifat sebagai suatu benda yang dipakai, sebagai sebuah konsep produk­si seni yang mudah dipahami, lebih cepat menerima reaksi dari kehidupan sosial.

Pakaian dalam perspektif Islam
Pada saat orang yang beriman memutuskan pakaian mana yang hendak dikenakannya sepanjang hari dan mengenakannya, dia menyadari sebuah kenyataan penting: bahwa pakaian adalah salah satu dari nikmat Allah yang tidak terhitung banyaknya dan ada kebaikan dalam adanya pakaian. Semua orang mengambil manfaat dari nikmat ini, tetapi hanya seorang muslim yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur’an yang mampu menghargai dengan baik bahwa pakaian yang indah adalah kasih sayang dari Allah dan bersyukur kepada-Nya atas berkah tersebut. Pakaian segera mengingatkan orang beriman bahwa makhluk hidup adalah sumber pakaian wol, kapas, dan sutra. Bahan pakaian yang kita pakai, hampir di setiap saat dalam hidup kita, diperoleh dari tumbuhan dan hewan yang merupakan ciptaan yang menakjubkan. Dengan kata lain, seandainya Allah tidak menciptakan makhluk hidup yang memiliki kemampuan menyediakan untuk manusia berbagai macam pakaian dari yang paling sederhana sampai yang paling mewah, maka bahan mentah tersebut tidak akan ada.
Meskipun mereka sebenarnya mengetahui ini, sebagian orang tidak peduli atau, karena kesesatannya, tidak menghargai nikmat yang mereka miliki. Karena mereka diberi pakaian yang mereka butuhkan sejak mereka lahir, berpakaian telah menjadi kebiasaan bagi mereka. Kebiasaan ini melalaikan mereka dari menyadari bahwa pakaian mereka merupakan nikmat. Mereka juga lalai untuk mensyukurinya. Padahal, salah satu alasan mengapa Allah menurunkan nikmat di dunia adalah agar manusia berterima kasih kepada-Nya atas semua nikmat tersebut. Oleh karena itu, marilah kita mempelajari alasan mengapa Allah menciptakan pakaian untuk kita. Mari kita mulai dari manfaat pakaian tersebut untuk kita.
Pakaian seolah sebuah tameng yang melindungi tubuh manusia dari dingin, sinar matahari yang berbahaya, dan bahaya ringan di sekitar kita seperti lecet dan cedera. Kalau kita tidak memiliki pakaian, kulit tipis yang menutupi tubuh manusia akan sering terluka oleh berbagai bahaya ringan tersebut. Tentu itu menyakitkan, mengancam kesehatan, dan kulit dapat mengalami kerusakan yang parah.
Allah berfirman dalam Al Qur’an tentang alasan lain penciptan pakaian pelindung:
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. (QS. Al A’raf, 7: 26)
Sebagaimana yang disampaikan ayat ini, pakaian memberi manusia penampilan yang lebih indah.
Jelaslah bahwa pakaian merupakan kebutuhan yang tak bisa dielakkan dan nikmat sangat penting yang telah Allah berikan kepada kita. Orang beriman yang menyadari ini akan sangat berhati-hati dan tidak sembarangan dalam mengenakan pakaian. Ini menunjukkan bahwa dia sangat bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya.
Sifat lain yang dikaruniakan kepada orang beriman berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Qur’an adalah kesederhanaan dalam membelanjakan uang yang juga diterapkan pada saat membeli pakaian. Dia membeli barang yang dia butuhkan, cocok dengannya, dan tidak berlebihan. Dia tidak menghamburkan uang dengan membelanjakan uang untuk barang yang tidak diperlukannya. Ayat berikut menunjukkan kenyataan tersebut:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian. (QS Al Furqan, 25:67)
Kehatian-hatian dalam berpakaian bagi seseorang yang menjalani hidup sesuai Al Qur’an tidak hanya berhenti sampai di sini. Sebagai contoh, selain berpakaian dengan pakaian yang bersih, orang beriman yang menghargai keindahan akan berhati-hati dalam berpakaian dengan baik dan juga disesuaikan dengan situasi yang ada. Sebagaimana ditunjukkan oleh Al Qur’an, pakaian itu menyenangkan untuk dipandang mata (Surat al-A'raf: 26). Ada beberapa contoh mengenai bagaimana Nabi Muhammad, SAW berpakaian dan anjurannya mengenai hal ini dalam sabdanya kepada kita:
“Makanlah apa yang kamu suka, dan pakailah apa yang kamu suka dengan memperhatikan bahwa tidak terdapat dua hal: berlebih-lebihan dan kemewahan yang sia-sia.” (Maulana Muhammad Mansyur Nu'mani, Ma'ariful Hadith)
Berikut ini juga merupakan keterangan yang diberikan kepada kita mengenai bagaimana Nabi Muhammad, SAW berpakaian:
Setiap saat seorang utusan datang kepada Rasulullah. dia akan mengenakan pakaian terbaiknya dan memerintahkan sahabat-sahabat dekatnya untuk melakukan hal yang sama (Tabaqat Hadith, Volume 4, Nomor 346)
Ketika seorang sahabatnya tidak mempedulikan penampilannya dan terlihat tidak rapi, Nabi Muhammad, SAW. segera menegurnya. Contoh ini telah disampaikan kepada kita:
Rasulullah sedang berada di mesjid, di saat seseorang dengan rambut tidak disisir rapi dan janggut kusut datang. Nabi (SAW) menunjukkan jari kepadanya, seperti mengisyaratkan padanya bahwa dia harus merapikan rambut dan janggutnya. Orang tersebut pergi dan melakukan apa yang diisyaratkan, kemudian kembali. Nabi (SAW) berkata, “Tidakkah lebih baik jika setiap orang dari kalian datang dengan rambut terurus?" (Malik's Muwatta, Volume 2, Nomor 949)
Dalam Al Qur’an, Allah berfirman bahwa pakaian dan perhiasan merupakan bagian dari nikmat terbaik di Surga. Beberapa di antaranya disebutkan dalam ayat-ayat berikut:
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. (QS Al Hajj, 22:23)
… mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. (QS Ad Dukhan, 44:53)
Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang yang terbuat dari perak … (QS Al Insan, 76:21)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah berfirman mengenai sutra halus dan sutra tebal, dan perhiasan yang terbuat dari emas, perak dan mutiara. Perhiasan yang kita miliki di dunia ini sama dengan yang ada di Surga. Bagi orang yang beriman, memandang perhiasan ini (mereka memilikinya atau tidak) merupakan sarana yang menuntunnya untuk merenungkan Surga dan keinginan yang lebih besar untuk mencapainya. Orang beriman merenungkan tujuan penciptaan semua itu dan menyadari bahwa segala nikmat di dunia ini tidaklah kekal. Satu-satunya nikmat sejati dan yang kekal terdapat di akhirat.
Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga 'Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah. (QS Al Kahfi, 18:30-31)
Salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang menjalani hidup sesuai Al Qur’an dan Sunnah dalam hal pakaian adalah bahwa penampilan luar sangat penting dalam membangun hubungan dengan orang lain. Berdasarkan alasan ini, orang beriman akan memberikan perhatian lebih pada apa yang akan dia kenakan ketika mengajak orang lain menerima agama Al Qur’an. Dia akan sangat bersemangat memakai pakaian yang bersih, bersahaja, dan cocok dengannya. Ini menunjukkan pengabdiannya kepada perintah Allah dan penghormatannya kepada orang lain.
Hanya mereka yang hidup sesuai Al Qur’an saja yang sangat memperhatikan kondisi psikologis seseorang. Dia juga berhati-hati agar dapat seberhasil mungkin dalam menyampaikan jalan keselamatan yang abadi. Dia pun sangat teliti mengenai apa yang sedang dikenakannya.
Sebagai kesimpulan, orang beriman yang menjadikan Nabi Muhammad, SAW sebagai teladan, selalu berada dalam keadaan bersih, rapi, dan berpakaian menarik. Dia sangat menikmati hal ini karena mengharapkan meraih ridha Allah.
Harunyahya.com
Penutup
Pakaian memiliki beragam makna eksplisit dan implisit. Pakaian adalah wujud imitasi dari tubuh sosial seseorang, sehingga batasan kenyamanan setiap personal menjadi berbe­da-beda. Sehelai pakaian mam­pu menggambarkan suatu struktur kehidupan sosial, ideologi, sejarah, golongan, komunitas, dan juga identitas. Ideologi agama pada pakaian, mengenai permasalahan moral dan etika, merupakan aturan atau hukum mengenai bagai­mana berpakaian sesuai dengan kondisi ruang, tempat, dan waktu, yang perlu dipahami dan dilaksanakan. Seharusnya, kebebasan dalam berkreasi pakaian, tidak melupakan hubungan pakaian dengan lingkungan sosial disekitarnya. Karena pakaian sebagai kebu­tuhan pokok, masuk pada wilayah publik, sehingga per­tim­bangan kelayakan sosial masih diperlukan. Pada akhir­nya, pakaian tetaplah bagian benda mati, konstruksi sosial didalamnya, yang menjadikan pakaian sebagai produk seni yang bermakna ganda.


Daftar Pustaka

Effendy, Onong.U. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti

Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung, Rosda

Syam, Nina.W. 2011. Psikologi Komunikasi: Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung, Simbiosa Rekatama Media

Tubbs, Stewart & Sylvia. 2008. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung, Rosda

Sumber lain

http://harunyahya.com
http://wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar