Rabu, 13 November 2013

Interpersonal Skill



Pendahuluan
Palo Alto Group (Littlejohn, 2008:284) membuat sebuah kesimpulan yang bermakna tegas bahwa, “We can not not communicate,” (kita tidak bisa tidak berkomunikasi). Ada banyak tafsir dari pernyataan di atas seperti misalnya, ketika kita berada dihadapan orang lain, kita selalu mengungkapkan sesuatu tentang hubungan kita dengan orang lain, baik secara sadar maupun tidak. Aksioma ini berarti jika kita tidak ingin berinteraksi dengan orang lain, bisa saja orang lain membaca “penghindaran” kita sebagai sebuah pernyataan. Termasuk ketika kita diam adalah sebuah pesan yang tidak bisa untuk disembunyikan dan mengandung banyak dugaan.
Penjelasan lain dari ungkapan “kita tidak dapat tidak berkomunikasi” adalah bahwa komunikasi adalah kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tanpa adanya komunikasi maka tidak akan ada kehidupan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa proses kehidupan di dunia ini berawal dari komunikasi.
Hal ini didukung oleh Stewart (2008:3) yang menghubungkan dengan erat antara komunikasi dengan kesehatan fisik. Dia menunjukkan bahwa orang yang terkucil secara sosial (terisolasi dalam berkomunikasi) lebih cepat mati. Selain itu, kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya.
Dalam perspektif agama juga sudah begitu jelas diterangkan bahwa salah satu fitrah dasar manusia adalah untuk saling mengenal, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat:13 “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kamu sekalian.”
Dari ayat ini, Allah menyuruh kita untuk saling mengenal, meskipun berbeda suku, berbeda bangsa, berbeda budaya, berbeda warna kulit, sebagai manusia kita harus menjalin komunikasi yang baik. Selanjutnya Allah juga menegaskan yang paling mulia di sisi Allah bukanlah yang paling kaya, paling cantik, paling pintar, paling popular, dan sebagainya. Namun yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakwa kepada Allah SWT. Dalam hubungannya dengan aktivitas komunikasi tentu orang yang bertakwa adalah mereka yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap sesama. Kemudian dijelaskan kembali pada Surat yang lain,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)

Ayat di atas memberikan isyarat bahwa yang mampu menciptakan keselarasan dalam berkomunikasi adalah hati kita sendiri. Sehingga kita dianjurkan untuk menata hati dalam setiap aktivitas terutama komunikasi agar tercipta hubungan interaksi interpersonal yang baik di antara peserta komunikasi.
Interpersonal skill erat kaitannya dengan kegiatan interaksi yang rutin dilakukan setiap hari, mulai dari mengundang teman untuk belajar bersama, meminta uang kepada orang tua untuk kebutuhan kuliah, mengerjakan tugas kelompok dengan kompak, melamar pekerjaan, menanggapi pujian atau cacian, melapor pada atasan, menciptakan hubungan baru, memperbaiki dan mempererat hubungan, mendamaikan perselisihan, dsb.
Memahami proses interaksi merupakan bagian penting dari proses pendidikan pengembangan diri. Sama seperti pentingnya seseorang memahami ilmu komputer, geografi, matematika, sains dan lain-lain. Sebagai makhluk sosial kita pun dituntut untuk dapat mengetahui apa dan bagaimana kemampuan/kompetensi interpersonal. Karena kita hidup dalam dunia yang mengharuskan setiap individu mampu berkomunikasi/berinteraksi dengan baik sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup dengan seimbang.
Oleh sebab itu sebelum memahami apa sesungguhnya kemampuan/kompetensi interpersonal (interpersonal skill) itu, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat apa sebenarnya kompetensi (skill) itu sendiri.
Definisi Interpersonal Skill
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemampuan/kompetensi diartikan sebagai, kemampuan; kecakapan; kekuatan. Ford (dalam L’Abate, 1990) mengemukakan bahwa kompetensi menunjuk pada tiga hal, yakni:
a.       Kecakapan merumuskan dan mewujidkan suatu usaha atau karya, yaitu dalam bentuk aktivitas yang mengarah pada tujuan secara terus menerus.
b.      Perilaku seseorang yang menunjukkan pada adanya kecakapan atau kemampuan khusus; atau
c.       Keefektifan perilaku dalam situasi yang relevan.
Dari pendapat Ford tersebut menunjukkan bahwa kata kompetensi akan mempunyai arti apabila kata tersebut disandingkan dengan situasu tertentu. Kompetensi dalam suatu situasi tidak dapat digunakan untuk menjelaskan kompetensi dalam situasi yang lain. Oleh karena itu pada materi ini, kata kompetensi akan selalu disandingkan dengan kata interpersonal.
Secara sederhana, kata interpersonal dibentuk dari prefix “inter” dan kata “personal.” Untuk itu, interpersonal selalu dikaitkan dengan suatu bentuk interaksi antarperseorangan. Dengan demikian, kompetensi interpersonal dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan khusus seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Senada dengan itu, Gardner (1983) mendefinisikan kecerdasan interpersonal sebagai kemampuan untuk memahami orang-orang lain: apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bertindak, bagaimana seseorang bekerja sama dengan mereka. Gardner mencontohkan penjual, politisi, pengajar, dokter dan pimpinan religius yang sukses merupakan individu-individu yang memiliki tingkat kecerdasan interpersonal yang tinggi.
Kompetensi interpersonal merupakan bagian dari kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial, menetukan perilaku yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial (Hurlock, 1999). Dikatakan demikian karena di dalam kompetensi sosial terdapat aspek-aspek kompetensi interpersonal seperti kemampuan membentuk persahabatan dengan orang lain yang disertai dengan kualitas interaksi antarpribadi yang baik (Adams, 1983), kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain serta keterlibatannya dalam suatu situasi sosial (Hurlock, 1999), kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan mengatasi permasalahan yng timbul dalam kehidupan sosial, kemampuan mengontrol situasi (Baumrid dalam Maccoby, 1988), dan memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan lingkungan (White dalam Datan & Lohman, 1980).
Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal (interpersonal skill) memiliki beberapa aspek yang dikemukakan oleh Buhrmester dkk. (1988), yang terdiri dari: 1) kemampuan berinisiatif untuk memulai suatu hubungan interpersonal; 2) kemampuan membuka diri; 3) kemampuan untuk bersikap asertif; 4) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain; 5) kemampuan untuk mengelolah dan mengatasi konflik dengan orang lain. Kelima subkompetensi tersebut akan membentuk kompetensi interpersonal (interpersonal skill).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal
            Kompetensi interpersonal tidak tumbuh dengan sendirinya. Berbagai pandangan dan penelitian membuktikan bahwa kompetensi interpersonal tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal adalah antara lain jenis kelamin, keaktifan dalam organisasi (Danardono, 1997), kematangan beragama (Nashori, 2000), konsep diri (Rahmat, 2000), kontak anak dengan orang tua (Hetherington & Parke, 1986), kelekatan dengan teman sebaya (Kramer & Gottman, 1992), partisipasi sosial (Hurlock, 1999).
            Berdasarkan jenis kelamin, Danardono (1997) menemukan bahwa mahasiswa laki-laki yang aktif dalam kegiatan pecinta alam mempunyai kompetensi interpersonal yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang aktif dalam kegiatan pecinta alam. Hal senada diungkapkan oleh Hadiyono & Kahn (1987) yang melaporkan bahwa laki-laki memiliki stabilitas emosi, memiliki keberanian dan kepuasan diri. Hasil penelitian tersebut dapat dipahami mengingat anak laki-laki sesuai dengan fisiknya terbukti memiliki tingkat gerakan yang lebih aktif dibanding anak-anak perempuan. Pada gilirannya gerakan-gerakan tersebut akan menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan hubungan interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan konflik interpersonal yang dihadapi.
            Kematangan juga mempengaruhi kompetensi interpersonal sebagaimana dikemukakan oleh Wulff (1991) dan telah dibuktikan oleh Nashori (2000), yang secara khusus meneliti kematangan beragama, konsep diri dan jenis kelamin dalam hubungannya dengan kompetensi interpersonal. Dalam hal ini dibutuhkan kematangan tertentu agar seseorang memiliki tingkat kompetensi interpersonal tertentu.
            Oleh sebab itu, Zakiah Darajat (2005:124) menekankan pentingnya setiap individu untuk mendapatkan pendidikan agama yang bukan hanya sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melati keterampilan dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi pendidikan agama jauh lebih luas daripada itu, ia pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian seseorang, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap, mental dan akhlak, jauh lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama, yang tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup. Dengan kematangan agama, seseorang akan memiliki kepribadian yang baik dalam hal sikap, mental dan akhlak sehingga akan berpengaruh pada proses terciptanya kompetensi interpersonal seseorang.
            Tentang konsep diri yang dikemukakan oleh Brooks, dkk (dalam Rahmat, 2000) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh besar terhadap kompetensi interpersonal terutama dalam hal pola komunikasi interpersonal. Hal ini juga sudah terbukti oleh Nashori (2000) yang menemukan bahwa konsep diri berhubungan secara signifikan dengan kompetensi interpersonal.
            Rosenberg (dalam Stewart,dkk., 2008:4) mengemukakan bahwa komunikasi erat kaitannya dengan konsep diri. Dia menceritakan kisah “anak liar dari Aveyron” yang dibesarkan oleh serigala. Dia sama sekali tidak memiliki identitas kemanusiaan sebelum berinteraksi dengan manusia. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan perhatian dan diperhatikan oleh orang lain. Lebih jauh lagi kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain.
            Konsep yang berbeda tentang diri “self” dijelaskan oleh Allport (dalam Syam, 2011:64) dengan menghilangkan kata “self” dan menggantikannya dengan kata lain yang sedikit berbeda dengan semua konsep lain. Istilah yang dipilihnya adalah proprium dan dapat didefinisikan dengan memikirkan bentuk sifat propriate, seperti dalam kata apropriate.
            Proprium menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang. Itu berarti bahwa proprium atau self terdiri dari proses yang penting dan bersifat pribadi bagi seorang individu, segi-segi seseorang yang menentukan seseorang sebagai seorang yang unik. Alport menyebutnya “Saya” sebagaimana yang dirasakan dan diketahui.
            Ada 7 (tujuh) tingkat “diri” proprium yang berkembang pada awal masa bayi sampai masa adolesensi.
1.      “Diri” jasmaniah, kita dilahirkan dengan suatu perasaan tentang diri, yang bukan merupakan bagian dari warisan keturunan kita. Bayi tidak dapat membedakan antara diri “saya” dan dunia sekitarnya. Namun secara berangsur dan bertambah kompleksnya belajar serta pengalaman perseptual, berkembanglah suatu perbedaan yang kabur antara sesuatu yang ada “dalam saya” dan sesuatu yang lain “di luarnya.” Ketika bayi menyentuh, melihat dan mendengar dirinya, benda-benda, serta orang lain, perbedaan itu mulai nampak lebih jelas. Sekitar usia 15 bulan, muncullah tingkat pertama perkembangan proprium “diri jasmaniah.”
2.      Identitas diri, seorang anak mulai sadar akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai seorang yang terpisah. Anak mempelajari namanya, dan percaya bahwa perasaan tentang “saya” atau “diri” tetap bertahan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah. Allport berpendapat bahwa faktor yang sangat penting dalam identitas diri adalah nama. Nama menjadi lambang kehidupan seseorang yang mengenal dirinya, dan membedakannya dari semua diri yang lain di dunia ini.
3.      Harga diri, ini menyangkut perasaan bangga seorang anak sebagai suatu hasil dari belajar mengerjakan benda-benda atas usahanya sendiri. Pada tingkat ini, anak ingin menyelidiki dan memuaskan perasaan ingin tahunya tentang lingkungan. Inti dari munculnya harga diri adalah kebutuhan anak akan otonomi. Ini kelihatan dalam tingkah lakunya yang negatif sekitar 2 tahun, ketika anak kelihatannya selalu menentang segala sesuatu yang dikehendaki orang tua untuk dilakukannya. Kemudian sekitar usia 6 atau 7 tahun harga diri lebih ditentukan oleh semangat bersaing dengan kawan-kawan sebayanya.
4.      Perluasan diri, tingkat ini mulai usia 4 tahun. Anak mulai menyadari keberadaan orang lain dan benda-benda disekitarnya, serta terbukti bahwa beberapa di antaranya adalah milik anak tersebut. Anak mulai mempelajari arti dan nilai dari milik/kepunyaan, seperti terungkap dalam kalimat ini punya adik, baju adik bagus sekali. Ini adalah permulaan dari kemampuan orang untuk memperpanjang dan memperluas dirinya, untuk memasukkan tidak hanya benda-benda tetapi juga abstraksi, nilai-nilai, dan kepercayaan.
5.      Gambaran diri, tingkatan ini menunjukkan bagaimana anak melihat dirinya dan pendapatnya mengenai dirinya. Gambaran ini (atau rangkaian gambaran) berkembang dari interaksi antara orang tua dan anak. Lewat pujian dan hukuman, anak belajar bahwa orang tua mengharapkannya agar menampilkan perilaku tertentu dan menjauhi perilaku lain. Dengan mempelajari harapan orang tua ini, anak mengembangkan dasar untuk perasaan tanggungjawab moral serta perumusan tentang tujuan dan intensi-intensi.
6.      Diri sebagai pelaku rasonal, setlah anak mulai sekolah, diri sebagai pelaku rasional mulai timbul. Aturan dan harapan baru dipelajari dari guru dan teman sekolah, serta yang lebih penting adalah diberikannya aktivitas dan tantangan intelektual. Anak belajar bahwa ia dapat memecakhan masalah menggunakan proses logis dan rasional.
7.      Perjuangan proprium. Pada masa adolesensi, perjuangan proprium—tingkat tingkat terakhir dalam perkembangan diri (selfhood)—muncul. Allport memercayai bahwa masa adolesens merupakan suatu masa yang sangat menentukan. Orang sibuk dalam mencari identitas yang baru, sangat berbeda dari identitas diri pada usia 2 (dua) tahun. Pentingnya pencarian identitas ini, yaitu pertama kalinya orang memerhatikan masa depan, tujuan dan impian hidupnya dalam masa yang panjang.
            Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri senantiasa membicarakan tentang bagaimana seorang berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kegiatan berkomunikasi dengan diri sendiri disebut dengan komunikasi intrapersonal. Seseorang yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal) dengan baik maka dia juga akan mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan baik.
Motivasi Personal
Allport mempercayai bahwa masalah yang sangat penting bagi ahli psikologi yang mempelajari kepribadian ialah usaha untuk menerangkan motivasi. Allport berpendapat bahwa kepribadian yang sehat tidak dibimbing oleh kekuatan tidak sadar atau pengalaman masa kanak-kanak. Menurutnya, motif orang dewasa secara fungsional otonom terhadap masa kanak-kanak—motif tidak bergantung pada keadaan asli, otonom sama dengan pohon A misalnya yang tumbuh dengan sempurna dari bijinya yang pernah memberinya makan. Kita tidak didorong dari belakang oleh kekuatan-kekuatan pendorong dengan akar-akar masa lampau, malahan kita didorong lebih dahulu oleh rencana-rencana atau intensi-intensi kita untuk masa depan.
Segi sentral dari kepribadian kita adalah itensi kita yang sadar dan sengaja, yakni harapan, aspirasi dan impian. Tujuan ini mendorong kepribadian yang matang dan memberi petunjuk yang paling baik untuk memahami tingkah laku seseorang. Alport menulis bahwa memiliki tujuan jangka panjang yang dilihat sebagai pusat kehidupan pribadi seseorang, membedakan manusia dari binatang, orang dewasa dengan anak-anak, dan dalam banyak ragam kepribadian yang sehat dari kepribadian yang sakit (Syam, 2011:62).
            Allport meyakini bahwa dorongan semua orang yang sehat adalah sama karena didorong ke depan oleh suatu visi masa depan, di mana visi itu dapat memersatukan kepribadian dan membawa seseorang pada tingkat ketegangan yang bertambah. Di sini juga Alport menjelaskan tentang kebahagiaan yang menurutnya bukan merupakan suatu tujuan dalam dirinya sendiri. Tetapi, kebahagiaan merupakan hasil sampingan dari keberhasilan integrasi kepribadian dalam mengejar aspirasi-aspirasi dan tujuan. Kebahagiaan bukan suatu pertimbangan utama bagi orang yang memiliki personal yang sehat, melainkan berlaku bagi orang yang memiliki aspirasi yang dikejarnya secara aktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar