Palo
Alto Group (Littlejohn, 2008:284) membuat sebuah kesimpulan yang bermakna tegas
bahwa, “We can not not communicate,”
(kita tidak bisa tidak berkomunikasi). Ada banyak tafsir dari pernyataan di
atas seperti misalnya, ketika kita berada dihadapan orang lain, kita selalu
mengungkapkan sesuatu tentang hubungan kita dengan orang lain, baik secara
sadar maupun tidak. Aksioma ini berarti jika kita tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain, bisa saja orang lain membaca “penghindaran” kita sebagai
sebuah pernyataan. Termasuk ketika kita diam adalah sebuah pesan yang tidak
bisa untuk disembunyikan dan mengandung banyak dugaan.
Penjelasan
lain dari ungkapan “kita tidak dapat tidak berkomunikasi” adalah bahwa
komunikasi adalah kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia.
Dengan kata lain, tanpa adanya komunikasi maka tidak akan ada kehidupan. Maka
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa proses kehidupan di dunia ini berawal
dari komunikasi.
Hal
ini didukung oleh Stewart (2008:3) yang menghubungkan dengan erat antara
komunikasi dengan kesehatan fisik. Dia menunjukkan bahwa orang yang terkucil
secara sosial (terisolasi dalam berkomunikasi) lebih cepat mati. Selain itu,
kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit
jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang
ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya.
Dalam
perspektif agama juga sudah begitu jelas diterangkan bahwa salah satu fitrah
dasar manusia adalah untuk saling mengenal, seperti yang dijelaskan dalam
Al-Qur’an Surat Al-Hujurat:13 “ Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan serta menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kamu
sekalian.”
Dari ayat ini, Allah
menyuruh kita untuk saling mengenal, meskipun berbeda suku, berbeda bangsa,
berbeda budaya, berbeda warna kulit, sebagai manusia kita harus menjalin
komunikasi yang baik. Selanjutnya Allah juga menegaskan yang paling mulia di
sisi Allah bukanlah yang paling kaya, paling cantik, paling pintar, paling
popular, dan sebagainya. Namun yang paling mulia adalah manusia yang paling
bertakwa kepada Allah SWT. Dalam hubungannya dengan aktivitas komunikasi tentu
orang yang bertakwa adalah mereka yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan
baik terhadap sesama. Kemudian dijelaskan kembali pada Surat yang lain,
Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang
yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)
Ayat di atas memberikan
isyarat bahwa yang mampu menciptakan keselarasan dalam berkomunikasi adalah
hati kita sendiri. Sehingga kita dianjurkan untuk menata hati dalam setiap
aktivitas terutama komunikasi agar tercipta hubungan interaksi interpersonal
yang baik di antara peserta komunikasi.
Interpersonal skill
erat kaitannya dengan kegiatan interaksi yang rutin dilakukan setiap hari,
mulai dari mengundang teman untuk belajar bersama, meminta uang kepada orang tua
untuk kebutuhan kuliah, mengerjakan tugas kelompok dengan kompak, melamar
pekerjaan, menanggapi pujian atau cacian, melapor pada atasan, menciptakan
hubungan baru, memperbaiki dan mempererat hubungan, mendamaikan perselisihan,
dsb.
Memahami
proses interaksi merupakan bagian penting dari proses pendidikan pengembangan
diri. Sama seperti pentingnya seseorang memahami ilmu komputer, geografi,
matematika, sains dan lain-lain. Sebagai makhluk sosial kita pun dituntut untuk
dapat mengetahui apa dan bagaimana kemampuan/kompetensi interpersonal. Karena
kita hidup dalam dunia yang mengharuskan setiap individu mampu
berkomunikasi/berinteraksi dengan baik sebagai upaya mempertahankan
kelangsungan hidup dengan seimbang.
Oleh
sebab itu sebelum memahami apa sesungguhnya kemampuan/kompetensi interpersonal
(interpersonal skill) itu, terlebih
dahulu akan dijelaskan secara singkat apa sebenarnya kompetensi (skill) itu sendiri.
Definisi Interpersonal Skill
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemampuan/kompetensi diartikan sebagai,
kemampuan; kecakapan; kekuatan. Ford (dalam L’Abate, 1990) mengemukakan bahwa
kompetensi menunjuk pada tiga hal, yakni:
a. Kecakapan
merumuskan dan mewujidkan suatu usaha atau karya, yaitu dalam bentuk aktivitas
yang mengarah pada tujuan secara terus menerus.
b. Perilaku
seseorang yang menunjukkan pada adanya kecakapan atau kemampuan khusus; atau
c. Keefektifan
perilaku dalam situasi yang relevan.
Dari
pendapat Ford tersebut menunjukkan bahwa kata kompetensi akan mempunyai arti
apabila kata tersebut disandingkan dengan situasu tertentu. Kompetensi dalam
suatu situasi tidak dapat digunakan untuk menjelaskan kompetensi dalam situasi
yang lain. Oleh karena itu pada materi ini, kata kompetensi akan selalu
disandingkan dengan kata interpersonal.
Secara
sederhana, kata interpersonal dibentuk dari prefix “inter” dan kata “personal.”
Untuk itu, interpersonal selalu dikaitkan dengan suatu bentuk interaksi antarperseorangan.
Dengan demikian, kompetensi interpersonal dapat didefinisikan sebagai suatu
kemampuan khusus seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Senada
dengan itu, Gardner (1983) mendefinisikan kecerdasan interpersonal sebagai
kemampuan untuk memahami orang-orang lain: apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bertindak, bagaimana seseorang bekerja sama dengan mereka.
Gardner mencontohkan penjual, politisi, pengajar, dokter dan pimpinan religius
yang sukses merupakan individu-individu yang memiliki tingkat kecerdasan
interpersonal yang tinggi.
Kompetensi
interpersonal merupakan bagian dari kompetensi sosial. Kompetensi sosial
merupakan kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial, menetukan perilaku
yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial (Hurlock, 1999). Dikatakan demikian
karena di dalam kompetensi sosial terdapat aspek-aspek kompetensi interpersonal
seperti kemampuan membentuk persahabatan dengan orang lain yang disertai dengan
kualitas interaksi antarpribadi yang baik (Adams, 1983), kemampuan dalam
berhubungan dengan orang lain serta keterlibatannya dalam suatu situasi sosial
(Hurlock, 1999), kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan mengatasi permasalahan
yng timbul dalam kehidupan sosial, kemampuan mengontrol situasi (Baumrid dalam Maccoby,
1988), dan memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan lingkungan (White dalam
Datan & Lohman, 1980).
Aspek-aspek Kompetensi
Interpersonal
Kompetensi
interpersonal (interpersonal skill)
memiliki beberapa aspek yang dikemukakan oleh Buhrmester dkk. (1988), yang
terdiri dari: 1) kemampuan berinisiatif untuk memulai suatu hubungan
interpersonal; 2) kemampuan membuka diri; 3) kemampuan untuk bersikap asertif;
4) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain; 5)
kemampuan untuk mengelolah dan mengatasi konflik dengan orang lain. Kelima
subkompetensi tersebut akan membentuk kompetensi interpersonal (interpersonal skill).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kompetensi Interpersonal
Kompetensi
interpersonal tidak tumbuh dengan sendirinya. Berbagai pandangan dan penelitian
membuktikan bahwa kompetensi interpersonal tumbuh dan berkembang dipengaruhi
oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kompetensi interpersonal adalah antara lain jenis kelamin, keaktifan dalam
organisasi (Danardono, 1997), kematangan beragama (Nashori, 2000), konsep diri
(Rahmat, 2000), kontak anak dengan orang tua (Hetherington & Parke, 1986),
kelekatan dengan teman sebaya (Kramer & Gottman, 1992), partisipasi sosial
(Hurlock, 1999).
Berdasarkan jenis kelamin, Danardono
(1997) menemukan bahwa mahasiswa laki-laki yang aktif dalam kegiatan pecinta
alam mempunyai kompetensi interpersonal yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan yang aktif dalam kegiatan pecinta alam. Hal senada diungkapkan oleh
Hadiyono & Kahn (1987) yang melaporkan bahwa laki-laki memiliki stabilitas
emosi, memiliki keberanian dan kepuasan diri. Hasil penelitian tersebut dapat
dipahami mengingat anak laki-laki sesuai dengan fisiknya terbukti memiliki
tingkat gerakan yang lebih aktif dibanding anak-anak perempuan. Pada gilirannya
gerakan-gerakan tersebut akan menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan
hubungan interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan konflik
interpersonal yang dihadapi.
Kematangan juga mempengaruhi
kompetensi interpersonal sebagaimana dikemukakan oleh Wulff (1991) dan telah
dibuktikan oleh Nashori (2000), yang secara khusus meneliti kematangan
beragama, konsep diri dan jenis kelamin dalam hubungannya dengan kompetensi
interpersonal. Dalam hal ini dibutuhkan kematangan tertentu agar seseorang
memiliki tingkat kompetensi interpersonal tertentu.
Oleh sebab itu, Zakiah Darajat
(2005:124) menekankan pentingnya setiap individu untuk mendapatkan pendidikan
agama yang bukan hanya sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melati
keterampilan dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi pendidikan agama jauh lebih
luas daripada itu, ia pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian
seseorang, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap, mental dan akhlak, jauh
lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama, yang
tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup. Dengan kematangan agama,
seseorang akan memiliki kepribadian yang baik dalam hal sikap, mental dan
akhlak sehingga akan berpengaruh pada proses terciptanya kompetensi
interpersonal seseorang.
Tentang konsep diri yang dikemukakan
oleh Brooks, dkk (dalam Rahmat, 2000) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh
besar terhadap kompetensi interpersonal terutama dalam hal pola komunikasi
interpersonal. Hal ini juga sudah terbukti oleh Nashori (2000) yang menemukan
bahwa konsep diri berhubungan secara signifikan dengan kompetensi
interpersonal.
Rosenberg (dalam Stewart,dkk.,
2008:4) mengemukakan bahwa komunikasi erat kaitannya dengan konsep diri. Dia
menceritakan kisah “anak liar dari Aveyron” yang dibesarkan oleh serigala. Dia
sama sekali tidak memiliki identitas kemanusiaan sebelum berinteraksi dengan
manusia. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan perhatian dan
diperhatikan oleh orang lain. Lebih jauh lagi kita menumbuhkan identitas dan
nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain.
Konsep yang berbeda tentang diri “self” dijelaskan oleh Allport (dalam
Syam, 2011:64) dengan menghilangkan kata “self”
dan menggantikannya dengan kata lain yang sedikit berbeda dengan semua konsep
lain. Istilah yang dipilihnya adalah proprium
dan dapat didefinisikan dengan memikirkan bentuk sifat propriate, seperti dalam kata apropriate.
Proprium
menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang.
Itu berarti bahwa proprium atau self terdiri dari proses yang penting
dan bersifat pribadi bagi seorang individu, segi-segi seseorang yang menentukan
seseorang sebagai seorang yang unik. Alport menyebutnya “Saya” sebagaimana yang
dirasakan dan diketahui.
Ada 7 (tujuh) tingkat “diri” proprium yang berkembang pada awal masa
bayi sampai masa adolesensi.
1. “Diri”
jasmaniah, kita dilahirkan dengan suatu perasaan tentang diri, yang bukan
merupakan bagian dari warisan keturunan kita. Bayi tidak dapat membedakan
antara diri “saya” dan dunia sekitarnya. Namun secara berangsur dan bertambah
kompleksnya belajar serta pengalaman perseptual, berkembanglah suatu perbedaan
yang kabur antara sesuatu yang ada “dalam saya” dan sesuatu yang lain “di
luarnya.” Ketika bayi menyentuh, melihat dan mendengar dirinya, benda-benda,
serta orang lain, perbedaan itu mulai nampak lebih jelas. Sekitar usia 15
bulan, muncullah tingkat pertama perkembangan proprium “diri jasmaniah.”
2. Identitas
diri, seorang anak mulai sadar akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai
seorang yang terpisah. Anak mempelajari namanya, dan percaya bahwa perasaan
tentang “saya” atau “diri” tetap bertahan dalam menghadapi
pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah. Allport berpendapat bahwa faktor yang
sangat penting dalam identitas diri adalah nama.
Nama menjadi lambang kehidupan seseorang yang mengenal dirinya, dan
membedakannya dari semua diri yang lain di dunia ini.
3. Harga
diri, ini menyangkut perasaan bangga seorang anak sebagai suatu hasil dari belajar
mengerjakan benda-benda atas usahanya sendiri. Pada tingkat ini, anak ingin
menyelidiki dan memuaskan perasaan ingin tahunya tentang lingkungan. Inti dari
munculnya harga diri adalah kebutuhan anak akan otonomi. Ini kelihatan dalam
tingkah lakunya yang negatif sekitar 2 tahun, ketika anak kelihatannya selalu
menentang segala sesuatu yang dikehendaki orang tua untuk dilakukannya.
Kemudian sekitar usia 6 atau 7 tahun harga diri lebih ditentukan oleh semangat
bersaing dengan kawan-kawan sebayanya.
4. Perluasan
diri, tingkat ini mulai usia 4 tahun. Anak mulai menyadari keberadaan orang
lain dan benda-benda disekitarnya, serta terbukti bahwa beberapa di antaranya
adalah milik anak tersebut. Anak mulai mempelajari arti dan nilai dari
milik/kepunyaan, seperti terungkap dalam kalimat ini punya adik, baju adik bagus sekali. Ini adalah permulaan dari
kemampuan orang untuk memperpanjang dan memperluas dirinya, untuk memasukkan
tidak hanya benda-benda tetapi juga abstraksi, nilai-nilai, dan kepercayaan.
5. Gambaran
diri, tingkatan ini menunjukkan bagaimana anak melihat dirinya dan pendapatnya
mengenai dirinya. Gambaran ini (atau rangkaian gambaran) berkembang dari
interaksi antara orang tua dan anak. Lewat pujian dan hukuman, anak belajar
bahwa orang tua mengharapkannya agar menampilkan perilaku tertentu dan menjauhi
perilaku lain. Dengan mempelajari harapan orang tua ini, anak mengembangkan
dasar untuk perasaan tanggungjawab moral serta perumusan tentang tujuan dan
intensi-intensi.
6. Diri
sebagai pelaku rasonal, setlah anak mulai sekolah, diri sebagai pelaku rasional
mulai timbul. Aturan dan harapan baru dipelajari dari guru dan teman sekolah,
serta yang lebih penting adalah diberikannya aktivitas dan tantangan
intelektual. Anak belajar bahwa ia dapat memecakhan masalah menggunakan proses
logis dan rasional.
7. Perjuangan
proprium. Pada masa adolesensi, perjuangan proprium—tingkat tingkat terakhir
dalam perkembangan diri (selfhood)—muncul.
Allport memercayai bahwa masa adolesens merupakan suatu masa yang sangat
menentukan. Orang sibuk dalam mencari identitas yang baru, sangat berbeda dari
identitas diri pada usia 2 (dua) tahun. Pentingnya pencarian identitas ini,
yaitu pertama kalinya orang memerhatikan masa depan, tujuan dan impian hidupnya
dalam masa yang panjang.
Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa konsep diri senantiasa membicarakan tentang bagaimana seorang
berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kegiatan berkomunikasi dengan diri
sendiri disebut dengan komunikasi intrapersonal. Seseorang yang memiliki kemampuan
berkomunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal) dengan baik maka dia juga
akan mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan baik.
Motivasi Personal
Allport
mempercayai bahwa masalah yang sangat penting bagi ahli psikologi yang
mempelajari kepribadian ialah usaha untuk menerangkan motivasi. Allport
berpendapat bahwa kepribadian yang sehat tidak dibimbing oleh kekuatan tidak
sadar atau pengalaman masa kanak-kanak. Menurutnya, motif orang dewasa secara
fungsional otonom terhadap masa kanak-kanak—motif tidak bergantung pada keadaan
asli, otonom sama dengan pohon A misalnya yang tumbuh dengan sempurna dari
bijinya yang pernah memberinya makan. Kita tidak didorong dari belakang oleh
kekuatan-kekuatan pendorong dengan akar-akar masa lampau, malahan kita didorong
lebih dahulu oleh rencana-rencana atau intensi-intensi kita untuk masa depan.
Segi
sentral dari kepribadian kita adalah itensi kita yang sadar dan sengaja, yakni
harapan, aspirasi dan impian. Tujuan ini mendorong kepribadian yang matang dan
memberi petunjuk yang paling baik untuk memahami tingkah laku seseorang. Alport
menulis bahwa memiliki tujuan jangka panjang yang dilihat sebagai pusat
kehidupan pribadi seseorang, membedakan manusia dari binatang, orang dewasa
dengan anak-anak, dan dalam banyak ragam kepribadian yang sehat dari
kepribadian yang sakit (Syam, 2011:62).
Allport meyakini bahwa dorongan
semua orang yang sehat adalah sama karena didorong ke depan oleh suatu visi
masa depan, di mana visi itu dapat memersatukan kepribadian dan membawa seseorang
pada tingkat ketegangan yang bertambah. Di sini juga Alport menjelaskan tentang
kebahagiaan yang menurutnya bukan merupakan suatu tujuan dalam dirinya sendiri.
Tetapi, kebahagiaan merupakan hasil sampingan dari keberhasilan integrasi
kepribadian dalam mengejar aspirasi-aspirasi dan tujuan. Kebahagiaan bukan
suatu pertimbangan utama bagi orang yang memiliki personal yang sehat,
melainkan berlaku bagi orang yang memiliki aspirasi yang dikejarnya secara
aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar