Senin, 03 Desember 2012

MENYONGSONG INTEGRASI-INTERKONEKSI SAINS DAN AGAMA



MENYONGSONG INTEGRASI-INTERKONEKSI SAINS DAN AGAMA
    I.     PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dunia saat ini mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis energi sampai krisis moral. Pada tataran gaya hidup (life style) manusia tidak sedikit yang terjerumus ke dalam gaya hidup yang berlebihan, mubadzir dan hedonism. Pada tataran alam semesta terjadi fenomena kerusakan alam (lingkungan) yang semakin lama semakin membahayakan keberadaan makhluk hidup di bumi termasuk manusia seperti gunung es yang meleleh di Kutub Utara, lapisan ozon yang bolong dan semakin membesar di bagian kutub selatan, gempa bumi dan tsunami berantai serta isu perubahan iklim yang disebut sebagai fenomena global warming.
Oleh banyak ahli, berbagai krisis yang melanda dunia ini ditenggarai dikarenakan ummat manusia tidak berperilaku sebagaimana mestinya (benar dan baik).Kesalahan perilaku ummat manusia tersebut disinyalir oleh para ahli tersebut karena pola pendidikan yang dikembangkan saat ini kurang tepat.
Saat ini pendidikan dikembangkan dengan memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Mungkin ungkapan para tokoh agama seperti para ustad dan kiayi ada benarnya bahwa cukuplah hidup di dunia ini dengan berbekal ilmu agama, walaupun gagap ilmu dan teknologi tidak akan membuat kita merasa terancam dan terasing oleh kehidupan dan justru akan mampu mengendalikan kehidupan dengan baik, bukan sebaliknya dikendalikan oleh kehidupan itu sendiri. Berbeda halnya dengan kehidupan yang hanya dibekali dengan ilmu-ilmu umum saja, mereka akan merasakan kehidupan yang hampa walaupun terlihat nyaman dalam buaian ilmu dan teknologi. Mereka layaknya seperti kuda yang dipecut oleh joki (baca: ilmu dan teknologi) untuk berlari kencang dan pada akhirnya akan menyengsarakan dia sendiri tanpa memperoleh apa-apa.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.
Solusi terhadap masalah dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum telah banyak ditawarkan oleh beberapa ahli. Minimal ada tiga solusi terhadap masalah dikotomi tersebut, yaitu islamisasi sains, ilmuisasi islam, dan integrasi-interkoneksi.

B.   Permasalahan
Permasalahan yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menginterkoneksikan ilmu-ilmu umum (sains) dengan agama.
II.            PEMBAHASAN
A.          Krisis Ilmu Barat
Setelah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun kita menggeluti ilmu barat sekuler, maka ada dua macam reaksi di dalam benak kita yang berbeda satu sama lain. Pertama, kita merasa betah di dalamnya, dan karena itu kita merasa kagum kepadanya. Betah karena ilmu itu dipaparkan dan dikembangkan berdasarkan pada patokan-patokan (hukum-hukum) logika yang ramping, tegas dan lugas, sehingga ilmu itu dapat menyatakan dirinya  di kala benar dan di kala salah. Atau salah benarnya ilmu itu terdapat di dalam proses berpikir (nalar) yang ada di dalam tubuh ilmu itu sendiri.  Sehubungan dengan ini kita dibuat kagum terhadapnya, dan mengira bahwa hanya itulah yang benar, dan tidak bisa lain daripada itu. Sebaliknya, bila bertentangan dengan itu, maka yang bertentangan dengan itu pasti salah. Namun kedua, yang tidak sama dengan yang pertama itu, kita memaklumi bahwa ilmu Barat itu berkembang, dari sederhana menjadi kompleks. Dalam ilmu alamiah, perkembangan itu merupakan peningkatan dari pra-newtonian ke Newtonian, dan akhirnya ke pasca-newtonian. Tentu saja perkembangan dari sederhana ke kompleks atau canggih itu logis dan wajar, namun tampak kepada kita bahwa perkembangan itu, yang tadinya dianggap benar, setelah ada yang baru, maka yang lama itu menjadi salah. Karena itu apa yang hari ini disebut benar, besok mungkin salah, dan tidak cukup begitu. Di dalam upaya pemanfaatan ilmu itu untuk kenikmatan hidup manusia, banyak pakar barat sendiri yang menyalahkannya. Einstein menyatakan bahwa ” ...dalam perperangan ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membuat hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang indah ini ya ng menghemat kerja dan membuat hidup kita lebih muda, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali bagi kita?”
Barat sangat mengandalkan diri pada akal. Mereka katakan bahwa akal itu ialah yang benar dan tidak ada yang lebih benar daripada akal itu.
Maka bila ternyata akal mereka itu telah membawa pada sesuatu yang ternyata keliru, maka mereka menjadi kalang kabut. Ini mereka sebut skeptisisme, yang skeptisisme mereka itu benar, tapi mereka hanya tahu bahwa itu salah dan kalang kabut untuk sampai kepada yang benar. Mereka menjadi mandeg, tak tahu lagi apa yang harus dikerjakan. Mereka sangat percaya kepada empirisme dan positivisme, namun tetap dengan skeptisisme, dan dengan itu saja mereka tidak bisa sampai kepada yang benar. Mengapa demikian?
Karena yang benar itu satu, sedangkan yang tidak benar itu banyaknya tak terhingga. Maka untuk sampai kepada yang benar kita harus menempuh kesalahan yang banyaknya tak terhingga, dengan kata lain dengan mengetahui yang salah saja kita tidak akan sampai kepada yang benar.
Namun untunglah bagi kita, Tuhan YME, yang menciptakan itu semua, telah memberitahukan kepada kita (melalui Nabi Muhammad SAW) mana yang benar, mana yang salah. Yang benar adalah perintahNya bagi kita untuk kita jalani, sedangkan yang salah adalah laranganNya bagi kita untuk kita hindari. Dan diantara perintah dan larangan itu adalah apa-apa yang boleh kita lakukan.
Ilmu termasuk kepada perintah Allah SWT, yang harus kita lakukan sejauh ada pada kemampuan setiap individu. Ilmu itu termasuk ciptaan Allah SWT, berupa firman Allah yang tidak beruba-ubah sepanjang zaman. Ini adalah kebenaran yang diperintahkan kepada manusia untuk mengungkapkannya. Segala apa yang menyimpang dari padanya adalah kekeliruan. Tentu saja ada kekeliruan besar dan kekeliruan kecil, namun semua itu keliru. Dan yang lebih menyedihkan lagi bahwa ilmu Barat itu ternyata merupakan kekeliruan arah yang makin lama makin keliru.

Maka di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21 ini kita harus menghentikan kekeliruan, dan memandunya kembali kepada arah yang benar. Inilah ilmu Tauhidullah (di bidang sains), yang kita harapkan akan mulai menjelma kembali pada abad ke-21 nanti yang akan membebaskan manusia dari kehancuran (seperti yang dikemukakan oleh Einstein). Bagaimana caranya bagi kita untuk mengalihkan ilmu dari arah yang keliru itu ke arah yang benar?

Kita harus berubah 180 ̊. Kita tidak hanya mengandalkan diri pada akal saja, akan tetapi meletakkan akal di bawah ketentuan-ketentuan (nash-nash) dari Alloh. Atau dengan kata lain kita bina ilmu dengan dipandu dengan normatif dari Alloh SWT, atau naqliah memandu aqliah.
Jelas bahwa ini merupakan gagasan yang sama sekali baru di dunia ilmiah. Mungkin banyak muslim yang akan menentangnya, terutama sekali mereka yang menyatakan  bahwa ilmu itu netral. Merekalah yang menyatakan bahwa ilmu itu ibarat uang, maka tak perlu diganggu gugat, namun yang perlu diperhatikan adalah penggunaannya. Atau dengan kata lain, segi epistemologisnya biarkan saja, yang perlu diperhatikan adalah segi aksiologisnya. Dalam hal aksiologis inilah kekurangan dari ilmu-ilmu Barat. Namun seperti yang diuraikan di muka bahwa justru kelemahan ilmu barat itu letaknya pada segi epistemologisnya yang keliru, dan semakin lama akan menjadi semakin keliru.
Selain itu dikatakan bahwa sains itu berfungsi explanatory (menjelaskan), sedangkan normatif berfungsi menetapkan mana yang benar dan mana yang salah. Maka normatif dan explanatory (kausal) itu tidsak bisa campur, karena merupakan dunia yang sama sekali berbeda. Kausal sifatnya tidak normatif, sedangkan yang normatif itu bukan sebab akibat. Menurut saya pandangan itu sama sekali keliru. Pandangan saya bahwa normatif dari Alloh SWT adalah nomotetik (kausal) yang benar.
Tentu sangat benar bahwa normatif buatan manusia itu tidaklah bersifat kausal. Hal ini berbeda dengan normatif buatan Alloh SWT, di mana normatif itu merupakan patokan untuk mengetahui sebab akibat. Perintah Alloh untuk sembahyang dilatarbelakangi oleh sesuatu yang bila sembahyang itu tidak dilakukan akan menimbulkan petaka.
Demikian pula perintah untuk meninggalkan riba dilatarbelakangi bahwa larangan itu bila tidak dijalankan akan menimbulkan petaka. Hal itu sudah dibuktikan oleh Keynes bahwa justru karena interest of capital itu harus dibayar, maka timbullah pengangguran. Jadi larangan riba itu adalah agar tidak timbul pengangguran atau unemployment dalam perekonomian suatu bangsa. Maka ketentuan-ketentuan normatif atau nash-nash itu adalah patokan kebenaran, dan semua itu dilatarbelakangi oleh suatu sebab akibat. Kita diwajibkan oleh Alloh menemukan sebab-akibat itu dengan akal. (Soewardi, 1998: 93-96)

B.     Hubungan Ilmu, Filsafat dan Agama
Ada perbedaan yang sangat prinsipil antara ilmu dan pengetahuan. Menurut Susanto (2010:122), ilmu bisa juga disebut sebagai pengetahuan dalam arti pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi. Sedangkan pengetahuan adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi dan sebagainya. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan mempunyai cakupan yang lebih luas dan umum daripada ilmu.
Sementara filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan segala sesuatu secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat yang sebenarnya.
Kedudukan filsafat sebagai ilmu pengetahuan dikenal sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, dengan demikian filsafat mempunyai cabang, menurut Jujun S. Suriasumantri (2005:22) yang meminjam pemikiran Will Durant, filsafat dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali pergi menjelajah laut lepas; berspekulasi dan meneratas.
Seorang yang skeptis akan berkata: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas kelihatannya demikian, namun pandangan yang salah paham ini dapat dihilangkan jika kita sadar bahwa filsafat adalah merupakan pionir yang memberikan ruang dan wilayah bagi pengetahuan untuk mengembangkan diri. Semua ilmu akan bertolak dari pijakan filsafat baik itu ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Mengenai objek filsafat, sama halnya dengan objek ilmu pengetahuan terdiri dari dua objek, yaitu objek materi dan objek formal. Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang menjadi objek filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Namun, secara garis besarnya filsafat terdiri dari tiga aspek, yaitu alam, manusia dan Tuhan.
Sedangkan agama menurut bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan gama. A berarti “tidak” dan gama berarti “kacau”. Jadi kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.
Pengertian agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhoan Tuhan (sebutkan faktornya). Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam dan beserta isinya.
Dalam penjelasan selanjutnya, agama dibedakan dengan agama wahyu dan agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang dijadikan rujukan dan tuntunan tentang baik dan buruk. Sedangkan pada agama yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi (Suisanto, 2010:125).
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dena dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas planet bumi ini.



C.     Al-Qur’an dan Sains
Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya.
Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca: berpikir), dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Qur’an hendak menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dengan menyatakan, “Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu, kenalilah masyarakat serta sejarahmu.” Bahkan, ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu” (QS. Al-Maidah:105), yakni wahai orang-orang yang beriman atas kalian diri kalian sendiri. Sekarang jelas bahwa sebagai mufasir yang di antara mereka adalah Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah, “kanalilah dirimu sendiri.” (Supriyadi, 2010:103).
Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!”(QS.Yunus:101). Perhatikanlah yang ada di berbagai langit dan di berbagai belahan bumi (tidak di bumi saja), perhatikanlah yang ada di seluruh alam ini! Dengan demikian, Al-Qur’an mengajak manusia menggali sumber-sumber pengetahuan. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi, artinya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.

D.     Integrasi Pengetahuan Ke-Islaman dan Pengetahuan Umum
Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel. (Jujun S. Suriasumantri, 2005:233).
Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
-       Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).
-       Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu “memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya.
Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma’il Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam.
Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip–prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi  ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
  1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
  2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
  3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
  4. Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden.
Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maudu>di, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afga>ni  menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme). Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.
Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.
Terdapat keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
(1)    Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri …. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.
(2)    Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).
Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri …. maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
-     Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
-     Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
-     Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.  Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.
Contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya.
Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.
-       Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
-       Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
-       Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
III.            KESIMPULAN
1.        Alquran diturunkan kepada manusia disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, juga menuntun manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.        Sejak kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh suburlah pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekuler.
3.        Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa  dampak negatif bagi kehidupan manusia.
4.        Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
5.        Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.
6.        Maka di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21 ini kita harus menghentikan kekeliruan, dan memandunya kembali kepada arah yang benar. Inilah ilmu Tauhidullah (di bidang sains), yang kita harapkan akan mulai menjelma kembali pada abad ke-21 nanti yang akan membebaskan manusia dari kehancuran (seperti yang dikemukakan oleh Einstein).

Daftar Pustaka
Supriyadi, Dedi. 2010. Pengantar Filsafat Islam; Teori dan Praktik. Bandung: Pustaka Setia.
Suriasumantri, S. Jujun. 2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu; Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Soewardi, Herman. 1998. Nalar; Kontemplasi dan Realita. Bandung.
Sumber Lain:
wordpress.com. Diakses tanggal 22-12-2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar