Rabu, 04 Desember 2013

Sukses Membangun Hubungan dengan Pendekatan Kemiripan (Similarity Method)



Siapa pun Anda, apakah Anda seorang pemimpin sebuah perusahaan, apakah Anda adalah seorang pegawai biasa atau bawahan, seorang pendakwah, motivator, calon legislatif, dosen, mahasiswa, salesman, individu yang sedang membangun hubungan dan lain sebagainya tentu membutuhkan penerimaan dan penghargaan orang lain. Dengan kata lain siapa pun dari kita menginginkan agar dapat disenangi dan diterima oleh siapa saja dan kapan saja. Karena pada dasarnya keberhasilan kita terletak pada penerimaan dan dukungan orang lain.

Kesadaran akan kebutuhan penerimaan bahkan dukungan dari orang lain secara alamiah akan mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang diinginkan atau terlihat mirip dengan apa yang dilakkukan orang lain. Baik dengan mengunkapkan latarbelakang, pengalaman, pandangan hidup, visi misi, sikap, budaya, bahasa, perasaan, status sosial yang ditampilkan supaya terlihat mirip dengan orang lain.
Banyak kita jumpai praktik aktivitas di dunia nyata ketika seseorang ingin membangun hubungan dengan orang lain akan menggunakan pendekatan similarity dari orang yang dituju. Seperti misalnya pada saat seorang Pengusaha akan melakukan lobby, sebelumnya dia akan mencari tau informasi tentang kesukaan, pengalaman, atau informasi tentang kehidupan keluarga calon mitranya. Sehingga pada awal perbincangan dia akan membuka dengan perbincangan yang menyangkut kesukaan atau pengalaman calon mitra kemudian dia menanggapi bahwa kesukaan dan pengalaman calon mitra sama dengan kesukaan dan pengalamannya. Jika persamaan sudah terbingkai dalam perbincangan tersebut maka rasa saling percaya dan mendukung akan terbangun.
Pengalaman penulis sendiri pernah terlibat dalam sebuah tender penyelenggara acara (Event Organizer) yang berkaitan dengan kebudayaan Sumatera Selatan di Bandung. Sponsor utamanya adalah seorang pengusaha minyak yang berdarah Sumsel (tujuannya agar pada waktu acara dia bisa bertemu sekaligus bisa menjamu Gubernur). Singkatnya, meskipun konsep acara budaya yang diajukan oleh penulis dianggap bagus dan kreatif namun akhirnya ditolak ketika penulis tidak bersedia mendatangkan “wanita penghibur” yang diperuntukkan untuk menemani para tamu penting. Akhirnya acara tersebut jatuh ke EO lain (bukan backround orang Sumsel) yang menyanggupi menyediakan “wanita penghibur”. Pada akhirnya ternyata pada waktu acara sedikit sekali yang hadir dan tamu utama pun Gubernur Sumsel tidak mampu dihadirkan, sehingga acara hanyalah sebatas hura-hura dan maksiat.
Dari pengalaman di atas penulis mendapat pelajaran berharga bahwa kunci untuk berhasil dalam berhubungan dengan orang lain adalah bagaimana kita bisa terlihat bahkan menjadi benar-benar mirip dengan orang lain (namun tetap harus melihat sisi positif-negatifnya, halal-haramnya). Penulis memang sudah mengetahui bahwa Sang sponsor menyukai “wanita penghibur” sehingga jika penulis bertolak belakang dengan kesukaannya maka tidak akan mencapai kesepakatan. Begitu juga dengan Sang Sponsor karena tidak mengetahui latarbelakang para tamu undangan (yang tidak semuanya menyukai “wanita penghibur”) sehingga acara pun ditinggalkan.
Contoh lain adalah penelitian Buss (1985) menemukan bukti kuat bahwa pemilihan pasangan hidup didasarkan pada kemiripan. Misalnya para suami dan para isteri biasanya mirip dalam usia, pendidikan, latarbelakang etnik, seperti juga dalam ras, agama dan status sosio-ekonomi. Adapun berdasarkan psikologis seperti kemiripan sikap, pendapat dan pandangan dunia. Juga terdaapt kemiripan lain seperti kemampuan verbal yakni kecenderungan bertengkar, kejujuran, keterbukaan.
Pengamatan, penelitian, dan teori menyatakan bahwa kita menyukai orang-orang yang tampaknya mirip dengan kita. Lebih dari seratus tahun yang lalu Disraeli berkata, “Seorang yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan saya.” Seorang penulis kontemporer pun menyatakan, “Kita cenderung menyukai orang-orang yang mempunyai kepercayaan dan sikap yang sama seperti kita miliki, dan ketika kita menyukai seseorang, kita ingin ia mempunyai sikap seperti yang kita miliki” (Heider dalam Stewart, 2008:188). Di samping itu, kepribadian, gaya busana, tigkat sosio-ekonomi, agama, usia, status, dan sebagainya akan mempengaruhi perasaan kita terhadap orang lain. Kita cenderung menarik dan tertarik pada orang-orang yang seperti kita, dan sebaliknya, kita cenderung tidak menyukai dan tidak disukai orang-orang yang berbeda dengan kita.
Tampaknya semua orang akan sepakat dengan pernyataan Disraeli dan Heider yang mengatakan bahwa orang yang menyenangkan adalah orang yang setuju dengan kita dalam hal apa pun. Kita lebih menyukai orang yang mempunyai sikap sama seperti kita begitupun orang lain akan menyukai kita ketika kita mempunyai sikap yang sama dengan orang lain. Alih-alih akan dianggap sebagai seorang penjilat justru ini adalah kompetensi khusus yang tidak dimiliki semua orang dalam menyenangkan orang lain sehingga keberhasilannya dalam membangun hubungan yang berdampak juga pada keberhasilan karir, lobby, kenaikan gaji, memperoleh dukungan dan lain sebagainya adalah hadiah atas kemampuannya untuk menyenangkan orang lain.
Untuk para Calon Legislatif (Caleg)/Calon Kepala Daerah misalnya, pendekatan ini dinilai sebagai salah satu strategi untuk meraih dukungan konstituennya. Para kontestan harus menjadi apa yang diinginkan oleh konstituen baik dalam hal bersikap maupun mengampanyekan program. Misalnya saja, masyarakat dareah A menginginkan agar jalan raya di daerahnya bagus dan mulus. Maka tidak tepat jika spanduk kontestan menyampaikan pesan misalnya “Yang Muda Yang Berkaya” atau “Berjuang Untuk Kesejahteraan Rakyat”. Akan sangat berbeda dengan spanduk yang bertuliskan “Kesedihan Kita Sama dari Dulu Jalan tidak Pernah Bagus dan Mulus, Mari Kita Wujudkan Bersama” akan lebih berpengaruh dan mudah diingat daripada spanduk sebelumnya. Ini juga yang sering disebut sebagai pendekatan empati atau yang lebih mendalam disebut pendekatan neuro linguistic programe. Dan tentu saja untuk merasakan apa yang dirasakan masyarakat, mendengar apa yang didengar oleh masyarakat, melihat apa yang dilihat masyarakat dengan melalui riset atau survei terlebih dahulu, setelahnya barulah kita menjadi apa yang diinginkan oleh masyarakat. (Soal Riset IPO Institute ahlinya, contact me 082120177788) 
Namun selain faktor kemiripan yang disebut di atas, ada suatu pandangan mutakhir penelitian mengenai kemiripan adalah, “Kesadaran atas realitas bersama lebih penting daripada kemiripan itu sendiri. Juga, bukanlah kemiripan sikap, dan semua faktor lainnya yang penting, namun “Mengetahui” bahwa anda sangat mirip dalam makna yang anda berikan kepada hal-hal yang penting. Beberapa kajian lama dan baru menunjukkan pentinganya mengasumsikan kemiripan dalam hubungan, fakta bahwa pasangan-pasangan berpikir mereka lebih mirip daripada kemiripan yang sebenarnya, dan bahwa pengertian sering berjalan dengan kemiripan yang diperkirakan daripada kemiripan yang sebenarnya (Duck dan Barnes, 1992:206).”
Memahami bahwa realitas bahwa kita harus hidup secara bersama, memiliki pengertian terhadap makna raelitas yang kita anggap penting dan prioritas untuk diwujudkan secara bersama lebih penting dari kemiripan itu sendiri. Seorang suami isteri tidak akan bertengkar atau bercerai karena merasa sudah tidak ada kecocokan (kemiripan) lagi ketika dia memahami realitas yang lebih penting bahwa keluarga harus dilanjutkan sampai kapan pun untuk kebaikan bersama. Karen tujuan itualah sebetulnya kemiripan yang sesungguhnya.
Kita juga sering menemukan orang yang sepertinya keras kepala tidak mau diatur (atau jangan-jang kita sendiri) tidak mau mengalah ketika berpendapat sehingga orang seperti ini bisa dipastikan akan dihindari orang lain. Misalnya juga dalam sebuah perdebatan atau diskusi baik di kelas, forum resmi atau arisan, ada seseorang atau sekelompok yang kukuh terhadap pendapatnya dan tidak mau mengalah atau menerima pendapat orang lain sehingga dampaknya dia tidak akan disukai karena perbedaan pendapat dan idealismenya. Padahal sebetulnya hal ini tidak perlu terjadi jika kita menemukan titik temu yang dianggap sama dengan orang lain. 
Strategi ketika berdebat kita harus tetap harus terlihat sama dengan lawan bicara misalnya dengan mengatakan, “Saya sependapat, sama seperti pendapat Anda namun ada yang ingin saya tambahkan berdasarkan bla...bla...bla...dst” tentu lebih mudah diterima lawan bicara. Berbeda dengan misalnya, “Saya tidak sependapat dengan Anda, alasan Anda tidak ilmiah....bla...bla...bla...dst.” Sikap seperti ini tentu akan membuat lawan bicara merasa terpojokkan dan berusaha untuk membalas. Minimal jika hal di atas tidak bisa kita lakukan maka kita harus memberikan pengertian kepada lawan bicara bahwa kita dan lawan bicara adalah sama-sama teguh pendirian. Tetap harus menemukan persamaan. Semoga Bermanfaat.



Rabu, 13 November 2013

Interpersonal Skill



Pendahuluan
Palo Alto Group (Littlejohn, 2008:284) membuat sebuah kesimpulan yang bermakna tegas bahwa, “We can not not communicate,” (kita tidak bisa tidak berkomunikasi). Ada banyak tafsir dari pernyataan di atas seperti misalnya, ketika kita berada dihadapan orang lain, kita selalu mengungkapkan sesuatu tentang hubungan kita dengan orang lain, baik secara sadar maupun tidak. Aksioma ini berarti jika kita tidak ingin berinteraksi dengan orang lain, bisa saja orang lain membaca “penghindaran” kita sebagai sebuah pernyataan. Termasuk ketika kita diam adalah sebuah pesan yang tidak bisa untuk disembunyikan dan mengandung banyak dugaan.
Penjelasan lain dari ungkapan “kita tidak dapat tidak berkomunikasi” adalah bahwa komunikasi adalah kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tanpa adanya komunikasi maka tidak akan ada kehidupan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa proses kehidupan di dunia ini berawal dari komunikasi.
Hal ini didukung oleh Stewart (2008:3) yang menghubungkan dengan erat antara komunikasi dengan kesehatan fisik. Dia menunjukkan bahwa orang yang terkucil secara sosial (terisolasi dalam berkomunikasi) lebih cepat mati. Selain itu, kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya.
Dalam perspektif agama juga sudah begitu jelas diterangkan bahwa salah satu fitrah dasar manusia adalah untuk saling mengenal, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat:13 “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kamu sekalian.”
Dari ayat ini, Allah menyuruh kita untuk saling mengenal, meskipun berbeda suku, berbeda bangsa, berbeda budaya, berbeda warna kulit, sebagai manusia kita harus menjalin komunikasi yang baik. Selanjutnya Allah juga menegaskan yang paling mulia di sisi Allah bukanlah yang paling kaya, paling cantik, paling pintar, paling popular, dan sebagainya. Namun yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakwa kepada Allah SWT. Dalam hubungannya dengan aktivitas komunikasi tentu orang yang bertakwa adalah mereka yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap sesama. Kemudian dijelaskan kembali pada Surat yang lain,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)

Ayat di atas memberikan isyarat bahwa yang mampu menciptakan keselarasan dalam berkomunikasi adalah hati kita sendiri. Sehingga kita dianjurkan untuk menata hati dalam setiap aktivitas terutama komunikasi agar tercipta hubungan interaksi interpersonal yang baik di antara peserta komunikasi.
Interpersonal skill erat kaitannya dengan kegiatan interaksi yang rutin dilakukan setiap hari, mulai dari mengundang teman untuk belajar bersama, meminta uang kepada orang tua untuk kebutuhan kuliah, mengerjakan tugas kelompok dengan kompak, melamar pekerjaan, menanggapi pujian atau cacian, melapor pada atasan, menciptakan hubungan baru, memperbaiki dan mempererat hubungan, mendamaikan perselisihan, dsb.
Memahami proses interaksi merupakan bagian penting dari proses pendidikan pengembangan diri. Sama seperti pentingnya seseorang memahami ilmu komputer, geografi, matematika, sains dan lain-lain. Sebagai makhluk sosial kita pun dituntut untuk dapat mengetahui apa dan bagaimana kemampuan/kompetensi interpersonal. Karena kita hidup dalam dunia yang mengharuskan setiap individu mampu berkomunikasi/berinteraksi dengan baik sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup dengan seimbang.
Oleh sebab itu sebelum memahami apa sesungguhnya kemampuan/kompetensi interpersonal (interpersonal skill) itu, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat apa sebenarnya kompetensi (skill) itu sendiri.
Definisi Interpersonal Skill
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemampuan/kompetensi diartikan sebagai, kemampuan; kecakapan; kekuatan. Ford (dalam L’Abate, 1990) mengemukakan bahwa kompetensi menunjuk pada tiga hal, yakni:
a.       Kecakapan merumuskan dan mewujidkan suatu usaha atau karya, yaitu dalam bentuk aktivitas yang mengarah pada tujuan secara terus menerus.
b.      Perilaku seseorang yang menunjukkan pada adanya kecakapan atau kemampuan khusus; atau
c.       Keefektifan perilaku dalam situasi yang relevan.
Dari pendapat Ford tersebut menunjukkan bahwa kata kompetensi akan mempunyai arti apabila kata tersebut disandingkan dengan situasu tertentu. Kompetensi dalam suatu situasi tidak dapat digunakan untuk menjelaskan kompetensi dalam situasi yang lain. Oleh karena itu pada materi ini, kata kompetensi akan selalu disandingkan dengan kata interpersonal.
Secara sederhana, kata interpersonal dibentuk dari prefix “inter” dan kata “personal.” Untuk itu, interpersonal selalu dikaitkan dengan suatu bentuk interaksi antarperseorangan. Dengan demikian, kompetensi interpersonal dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan khusus seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Senada dengan itu, Gardner (1983) mendefinisikan kecerdasan interpersonal sebagai kemampuan untuk memahami orang-orang lain: apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bertindak, bagaimana seseorang bekerja sama dengan mereka. Gardner mencontohkan penjual, politisi, pengajar, dokter dan pimpinan religius yang sukses merupakan individu-individu yang memiliki tingkat kecerdasan interpersonal yang tinggi.
Kompetensi interpersonal merupakan bagian dari kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial, menetukan perilaku yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial (Hurlock, 1999). Dikatakan demikian karena di dalam kompetensi sosial terdapat aspek-aspek kompetensi interpersonal seperti kemampuan membentuk persahabatan dengan orang lain yang disertai dengan kualitas interaksi antarpribadi yang baik (Adams, 1983), kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain serta keterlibatannya dalam suatu situasi sosial (Hurlock, 1999), kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan mengatasi permasalahan yng timbul dalam kehidupan sosial, kemampuan mengontrol situasi (Baumrid dalam Maccoby, 1988), dan memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan lingkungan (White dalam Datan & Lohman, 1980).
Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal (interpersonal skill) memiliki beberapa aspek yang dikemukakan oleh Buhrmester dkk. (1988), yang terdiri dari: 1) kemampuan berinisiatif untuk memulai suatu hubungan interpersonal; 2) kemampuan membuka diri; 3) kemampuan untuk bersikap asertif; 4) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain; 5) kemampuan untuk mengelolah dan mengatasi konflik dengan orang lain. Kelima subkompetensi tersebut akan membentuk kompetensi interpersonal (interpersonal skill).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal
            Kompetensi interpersonal tidak tumbuh dengan sendirinya. Berbagai pandangan dan penelitian membuktikan bahwa kompetensi interpersonal tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal adalah antara lain jenis kelamin, keaktifan dalam organisasi (Danardono, 1997), kematangan beragama (Nashori, 2000), konsep diri (Rahmat, 2000), kontak anak dengan orang tua (Hetherington & Parke, 1986), kelekatan dengan teman sebaya (Kramer & Gottman, 1992), partisipasi sosial (Hurlock, 1999).
            Berdasarkan jenis kelamin, Danardono (1997) menemukan bahwa mahasiswa laki-laki yang aktif dalam kegiatan pecinta alam mempunyai kompetensi interpersonal yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang aktif dalam kegiatan pecinta alam. Hal senada diungkapkan oleh Hadiyono & Kahn (1987) yang melaporkan bahwa laki-laki memiliki stabilitas emosi, memiliki keberanian dan kepuasan diri. Hasil penelitian tersebut dapat dipahami mengingat anak laki-laki sesuai dengan fisiknya terbukti memiliki tingkat gerakan yang lebih aktif dibanding anak-anak perempuan. Pada gilirannya gerakan-gerakan tersebut akan menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan hubungan interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan konflik interpersonal yang dihadapi.
            Kematangan juga mempengaruhi kompetensi interpersonal sebagaimana dikemukakan oleh Wulff (1991) dan telah dibuktikan oleh Nashori (2000), yang secara khusus meneliti kematangan beragama, konsep diri dan jenis kelamin dalam hubungannya dengan kompetensi interpersonal. Dalam hal ini dibutuhkan kematangan tertentu agar seseorang memiliki tingkat kompetensi interpersonal tertentu.
            Oleh sebab itu, Zakiah Darajat (2005:124) menekankan pentingnya setiap individu untuk mendapatkan pendidikan agama yang bukan hanya sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melati keterampilan dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi pendidikan agama jauh lebih luas daripada itu, ia pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian seseorang, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap, mental dan akhlak, jauh lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama, yang tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup. Dengan kematangan agama, seseorang akan memiliki kepribadian yang baik dalam hal sikap, mental dan akhlak sehingga akan berpengaruh pada proses terciptanya kompetensi interpersonal seseorang.
            Tentang konsep diri yang dikemukakan oleh Brooks, dkk (dalam Rahmat, 2000) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh besar terhadap kompetensi interpersonal terutama dalam hal pola komunikasi interpersonal. Hal ini juga sudah terbukti oleh Nashori (2000) yang menemukan bahwa konsep diri berhubungan secara signifikan dengan kompetensi interpersonal.
            Rosenberg (dalam Stewart,dkk., 2008:4) mengemukakan bahwa komunikasi erat kaitannya dengan konsep diri. Dia menceritakan kisah “anak liar dari Aveyron” yang dibesarkan oleh serigala. Dia sama sekali tidak memiliki identitas kemanusiaan sebelum berinteraksi dengan manusia. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan perhatian dan diperhatikan oleh orang lain. Lebih jauh lagi kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain.
            Konsep yang berbeda tentang diri “self” dijelaskan oleh Allport (dalam Syam, 2011:64) dengan menghilangkan kata “self” dan menggantikannya dengan kata lain yang sedikit berbeda dengan semua konsep lain. Istilah yang dipilihnya adalah proprium dan dapat didefinisikan dengan memikirkan bentuk sifat propriate, seperti dalam kata apropriate.
            Proprium menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang. Itu berarti bahwa proprium atau self terdiri dari proses yang penting dan bersifat pribadi bagi seorang individu, segi-segi seseorang yang menentukan seseorang sebagai seorang yang unik. Alport menyebutnya “Saya” sebagaimana yang dirasakan dan diketahui.
            Ada 7 (tujuh) tingkat “diri” proprium yang berkembang pada awal masa bayi sampai masa adolesensi.
1.      “Diri” jasmaniah, kita dilahirkan dengan suatu perasaan tentang diri, yang bukan merupakan bagian dari warisan keturunan kita. Bayi tidak dapat membedakan antara diri “saya” dan dunia sekitarnya. Namun secara berangsur dan bertambah kompleksnya belajar serta pengalaman perseptual, berkembanglah suatu perbedaan yang kabur antara sesuatu yang ada “dalam saya” dan sesuatu yang lain “di luarnya.” Ketika bayi menyentuh, melihat dan mendengar dirinya, benda-benda, serta orang lain, perbedaan itu mulai nampak lebih jelas. Sekitar usia 15 bulan, muncullah tingkat pertama perkembangan proprium “diri jasmaniah.”
2.      Identitas diri, seorang anak mulai sadar akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai seorang yang terpisah. Anak mempelajari namanya, dan percaya bahwa perasaan tentang “saya” atau “diri” tetap bertahan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah. Allport berpendapat bahwa faktor yang sangat penting dalam identitas diri adalah nama. Nama menjadi lambang kehidupan seseorang yang mengenal dirinya, dan membedakannya dari semua diri yang lain di dunia ini.
3.      Harga diri, ini menyangkut perasaan bangga seorang anak sebagai suatu hasil dari belajar mengerjakan benda-benda atas usahanya sendiri. Pada tingkat ini, anak ingin menyelidiki dan memuaskan perasaan ingin tahunya tentang lingkungan. Inti dari munculnya harga diri adalah kebutuhan anak akan otonomi. Ini kelihatan dalam tingkah lakunya yang negatif sekitar 2 tahun, ketika anak kelihatannya selalu menentang segala sesuatu yang dikehendaki orang tua untuk dilakukannya. Kemudian sekitar usia 6 atau 7 tahun harga diri lebih ditentukan oleh semangat bersaing dengan kawan-kawan sebayanya.
4.      Perluasan diri, tingkat ini mulai usia 4 tahun. Anak mulai menyadari keberadaan orang lain dan benda-benda disekitarnya, serta terbukti bahwa beberapa di antaranya adalah milik anak tersebut. Anak mulai mempelajari arti dan nilai dari milik/kepunyaan, seperti terungkap dalam kalimat ini punya adik, baju adik bagus sekali. Ini adalah permulaan dari kemampuan orang untuk memperpanjang dan memperluas dirinya, untuk memasukkan tidak hanya benda-benda tetapi juga abstraksi, nilai-nilai, dan kepercayaan.
5.      Gambaran diri, tingkatan ini menunjukkan bagaimana anak melihat dirinya dan pendapatnya mengenai dirinya. Gambaran ini (atau rangkaian gambaran) berkembang dari interaksi antara orang tua dan anak. Lewat pujian dan hukuman, anak belajar bahwa orang tua mengharapkannya agar menampilkan perilaku tertentu dan menjauhi perilaku lain. Dengan mempelajari harapan orang tua ini, anak mengembangkan dasar untuk perasaan tanggungjawab moral serta perumusan tentang tujuan dan intensi-intensi.
6.      Diri sebagai pelaku rasonal, setlah anak mulai sekolah, diri sebagai pelaku rasional mulai timbul. Aturan dan harapan baru dipelajari dari guru dan teman sekolah, serta yang lebih penting adalah diberikannya aktivitas dan tantangan intelektual. Anak belajar bahwa ia dapat memecakhan masalah menggunakan proses logis dan rasional.
7.      Perjuangan proprium. Pada masa adolesensi, perjuangan proprium—tingkat tingkat terakhir dalam perkembangan diri (selfhood)—muncul. Allport memercayai bahwa masa adolesens merupakan suatu masa yang sangat menentukan. Orang sibuk dalam mencari identitas yang baru, sangat berbeda dari identitas diri pada usia 2 (dua) tahun. Pentingnya pencarian identitas ini, yaitu pertama kalinya orang memerhatikan masa depan, tujuan dan impian hidupnya dalam masa yang panjang.
            Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri senantiasa membicarakan tentang bagaimana seorang berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kegiatan berkomunikasi dengan diri sendiri disebut dengan komunikasi intrapersonal. Seseorang yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal) dengan baik maka dia juga akan mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan baik.
Motivasi Personal
Allport mempercayai bahwa masalah yang sangat penting bagi ahli psikologi yang mempelajari kepribadian ialah usaha untuk menerangkan motivasi. Allport berpendapat bahwa kepribadian yang sehat tidak dibimbing oleh kekuatan tidak sadar atau pengalaman masa kanak-kanak. Menurutnya, motif orang dewasa secara fungsional otonom terhadap masa kanak-kanak—motif tidak bergantung pada keadaan asli, otonom sama dengan pohon A misalnya yang tumbuh dengan sempurna dari bijinya yang pernah memberinya makan. Kita tidak didorong dari belakang oleh kekuatan-kekuatan pendorong dengan akar-akar masa lampau, malahan kita didorong lebih dahulu oleh rencana-rencana atau intensi-intensi kita untuk masa depan.
Segi sentral dari kepribadian kita adalah itensi kita yang sadar dan sengaja, yakni harapan, aspirasi dan impian. Tujuan ini mendorong kepribadian yang matang dan memberi petunjuk yang paling baik untuk memahami tingkah laku seseorang. Alport menulis bahwa memiliki tujuan jangka panjang yang dilihat sebagai pusat kehidupan pribadi seseorang, membedakan manusia dari binatang, orang dewasa dengan anak-anak, dan dalam banyak ragam kepribadian yang sehat dari kepribadian yang sakit (Syam, 2011:62).
            Allport meyakini bahwa dorongan semua orang yang sehat adalah sama karena didorong ke depan oleh suatu visi masa depan, di mana visi itu dapat memersatukan kepribadian dan membawa seseorang pada tingkat ketegangan yang bertambah. Di sini juga Alport menjelaskan tentang kebahagiaan yang menurutnya bukan merupakan suatu tujuan dalam dirinya sendiri. Tetapi, kebahagiaan merupakan hasil sampingan dari keberhasilan integrasi kepribadian dalam mengejar aspirasi-aspirasi dan tujuan. Kebahagiaan bukan suatu pertimbangan utama bagi orang yang memiliki personal yang sehat, melainkan berlaku bagi orang yang memiliki aspirasi yang dikejarnya secara aktif.

Selasa, 05 Februari 2013

Golongan Jeans dirindukan Syurga



Bayangkan Anda berada dalam sebuah masjid perkotaan, kebetulan waktu sholat sudah masuk. Singkat cerita, karena imam tetap masjid belum juga hadir di tengah-tengah jama'ah, tentu Anda bisa menebak apa yang akan terjadi. Betul sekali, para jama'ah akan saling dorong-dorongan menunjuk salah satu dari mereka yang akan menjadi imam. Hal ini sebetulnya tidak menjadi masalah, asal yang ditunjuk benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi seorang imam sholat. Karena akan menjadi patal jika sholat dipimpin oleh orang yang tidak tepat, dalam hal ini yang paling utama fasih dan hafalan Al-Qur'annya baik walaupun sedikit. Pada kejadian tersebut, Anda melihat sosok orang yang mengenakan pakaian rapih, persis pakaiannya seperti layaknya seorang ustad lengkap dengan kain, kopiah, dan sorbannya. Namun yang sebetulnya sosok ini hanyalah jama'ah biasa saja, bahkah bacaan al-fatihahnya masih terbata-bata. 
 Di sisi lain, di antara belasan atau puluhan jama'ah tersebut ada seorang jama'ah dengan mengenakan pakaian santai, tentu Anda akan membayangkan sosok ini dengan celana jeans dan kaos oblongnya, maklum dia baru saja pulang dari pasar dengan kendaraan bermotornya, karena mendengarkan suara azan dia pun berhenti untuk menghadiri sholat berjama'ah. Anggaplah bahwa sosok ini adalah seorang ustad yang baik bacaannya (fasih), kuat hafalannya dan sholeh, namun karena pakaiannya dengan celana jeans dan kaos oblong atau kemeja dia tidak akan mendapat kesempatan untuk dipilih jama'ah. 
 Anda mungkin dengan mudah bisa menarik kesimpulan sendiri mengapa sosok orang yang pertama dipilih sebagai imam padahal sebetulnya ia bukanlah orang yang layak menjadi imam, sementara sosok yang kedua tidak terpilih padahal dia memenuhi kriteria sebagai seorang imam. Betul sekali, semua berawal dari sebuah pakaian. Persepsi kita terlalu kuat memutuskan dan menilai berdasarkan pengalaman yang subjektif tentang makna dan nilai sesuatu. Tidak ada yang salah dari proses persepsi masing-masing, hanya saja kebenarannya masih bersifat relatif tergantung sejauh mana proses konfirmasinya untuk memperoleh kebenaran tersebut.
Gambaran tentang diri seseorang (self image) memegang peranan penting dalam komunikasi, baik dengan orang lain (interpersonal) maupun dengan diri kita sendiri (intrapersonal). Self image ini sedikit banyak dipengaruhi oleh gambaran fisik seseorang (physical image) serta penampilan fisiknya (physical appearance). Masyarakat di belahan bumi mana pun akan mencurahkan segenap waktunya untuk melakukan modifikasi gambaran fisiknya dalam rangka meningkatkan dan memperkuat citra diri.
Pakaian merupakan media komunikasi yang penting. Stone mengemukakan, pakaian menyampaikan pesan. Pakaian bisa dilihat sebelum kata-kata terdengar. Pesan yang dibawa oleh pakaian bergantung pada sejumlah variabel, seperti latar belakang budaya, pengalaman, dan sebagainya. Sebagai media yang komunikatif, pakaian memiliki beberapa fungsi. Seperti yang disebut oleh Kefgen dan Specht menyebut ada tiga dimensi informasi tentang individu yang disebabkan oleh pakaian, yaitu emosi, tingkah laku dan deferensiasi.
Pakaian sebagai media komunikasi dibuktikan pula lewat penelitian Gibbins (1969). Menurutnya, ada tiga kategori pengertian yang dapat ditimbulkan. Pertama fashionability, derajat penerimaan orang lain terhadap pakaian seseorang sebagai masa kini, cerah dan cantik. Kedua, socialibility, derajat di mana pakaian dapat menjelaskan peran sosial pemakai dan membuatnya tampak feminim atau maskulin. Ketiga, formlity, derajat yang menentukan apakah seseorang akan membuatnya tampak resmi atau santai.
Pada mulanya, celana jeans dikenakan kaum hippies sebagai identitas perlawanan mereka terhadap kapitalisme. Kaum hippies sebagaimana kita ketahui menolak ideologi “kemapanan” dan terutama ketidakadilan sosial yang diciptakan sisitem kapitalisme: si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Namun demikian secara spesifik, komunitas hippies muncul sebagai respon terhadap kehidupan modern-kapitalisasi kehidupan- yang mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. Konsep homo economicus misalnya. Umumnya mereka hidup secara bebas dalam komunitas-komunitas kecil, tak ada aturan atau hukum yang membelengguhnya, agama mereka adalah love and peace ‘cinta dan perdamaian,’ sedang ritual spiritual mereka adalah ganja. Mereka menganggap ketidaksadaran merupakan bentuk kedekatannya kepada sang Pencipta.
Menurut mereka secara faktual dan filosofis jeans adalah “celana seumur hidup.” Jeans dengan teksturnya yang kuat diharapkan mampu bertahan selama mungkin sehingga mereka tak perlu berulangkali membeli pakaian. Secara eksplisit, sebetulnya jeans mengajarkan budaya hemat, sederhana, penolakan terhadap budaya konsumerisme. Namun sayang, pada dekade 1960-an industri (kapitalis) melihat potensi pasar yang besar bagi celana jeans. Gerakan masif kaum hippies pun tenggelam. Sejak saat itu jeans mulai masuk dunia industri, ia diproduksi dan diperdagangkan secara masif dan besar-besaran dengan beragam merek-mereknya. Secara tak langsung, moment tersebut menandai pula mulai terkooptasinya celana jeans oleh kapitalisme, dan tak pelak, celana jeans pun mulai mengalami pergeseran makna aslinya. Di tangan industri, jeans menjadi gaya hidup, bahkan dia pula yang mengundang muatan jarak sosial, ilusi usia terutama, jeans merupakan identitas mereka yang berjiwa muda. Tak hanya sampai di situ, industri pun menggenjot konsumerisme anak muda, memaksa mereka membeli setiap produk terbarunya melalui iklan-iklan yang disebarkan secara masif di berbagai media massa. Dari realitas tersebut, jelaslah filosofi jeans tidak lagi sebagai “pakaian seumur hidup” melainkan celana seumur jagung. Kini, sejumlah uang selalu siap kita gelontorkan tiap kali melihat celana jeans apik terpampang di etalse-etalase toko.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengembalikan kembali semangat kaum hippies bagi pecinta Jeans, juga tidak bermaksud mendongkrak industri jeans karena saya yakin ada tidaknya tulisan ini jeans akan tetap digemari. Terlepas dari itu semua penulis melalui tulisan ini ingin mensupport kepercayaan diri pecinta jeans untuk mengembalikan sisi-sisi positif dari filosofi kemunculan jeans itu sendiri, dan pada akhirnya penulis berangan-angan esok hari muncul sebuah fenomena yang menggetarkan, bahwa para pecinta jeans adalah identik dengan orang-orang yang sholeh, rajin berjama’ah di masjid, jujur, ramah, penuh karya dan sederet amal baik lainnya. Untuk menggambarkan orang-orang yang sholeh dan taat tidak lagi terpaku pada mereka yang memakai celana bahan (dasar), melainkan berbanding sejajar dengan mereka pecinta jeans. Karena kesholihan dan ketakwaan bukan terletak pada pakaian lahir melainkan pada bathin.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A’raf:26).
Secara umum ayat di atas menjelaskan tentang fungsi esensial dari pakaian yang diwajibkan oleh Alloh SWT. terhadap seluruh Bani Adam yaitu untuk menutup ‘aurat yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang sehingga disimpulkan oleh Al-Qurthubi bahwa ayat ini sekaligus merupakan perintah dan kewajiban untuk berpakaian yang menutup ‘aurat. Selanjutnya melalui ayat ini juga Alloh menetapkan pakaian taqwa yang merupakan sebaik-baik pakaian yang dikenakan oleh setiap hambaNya. ‘Pakaian Takwa’ yang dimaksud ayat ini menurut para ulama tafsir seperti yang terdapat dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azim yang dikutip oleh Ibnu Katsir yang dimaksud dengan pakaian takwa adalah keimanan. Ada juga yang menafsirkan sebagai amal sholih serta pakaian yang akan dipakai oleh para ahli surga. Dari ketiga tafsir tersebut tidak ada yang bertentangan semua saling berdekatan dan hakikatnya adalah pakaian mencerminkan kesholihan, keimanan dan rasa takut kepada Alloh sebagaimana makna luas dari kata takwa itu sendiri. Semoga bermanfaat.